Mencintai Diri Sendiri

30 1 0
                                    

Arjune tidak berpura-pura ketika berkata dirinya bisa saja sama sakitnya dengan Luna apabila istrinya tidak memperbaiki sikapnya. Kepalanya mulai dipenuhi hal-hal yang tidak masuk akal. Ia bahkan seringkali menganggap dirinya suami tidak berguna karena tidak becus menjaga istrinya. Merasa bahwa kehadirannya dalam hidup Luna justru merusak kehidupan istrinya. Fakta bahwa Luna tidak bahagia hidup dengannya kian mencekik lehernya.

Nyaris setiap hari, Luna membombardir tuduhan-tuduhan tanpa bukti kepadanya. Bukan hanya Luna, ibu mertua dan kakak iparnyapun turut menyudutkannya. Seolah dunia sedang menjelaskan bahwa tidak ada lagi yang berpihak kepadanya. Sebab, disaat seperti ini, ibu kandung yang ia fikir akan mengertipun, turut menyalahkannya. Ibunya berkata, jangan mencoreng nama baik keluarga besarnya.


Rasanya bekerjapun tidak lagi menyenangkan seperti dahulu kala. Berangkat pagi dengan satu ciuma, lalu bersemangat pulang kerumah untuk segera menikmati hidangan makan malam yang disuguhkan istrinya tercinta. Namun, khayalan hanyalah khayalan. Bahkan tidak pernah sekalipun ia mencicipi masakan dari tangan sang istri.


Secara fisik, istrinya mungkin perempuan yang diidamkan kaum adam untuk menjadi seorang pasangan. Luna Ayushita, istrinya, adalah perempuan cantik bertubuh tinggi dengan berat badan ideal, kulitnya sawo matang, penampilannyapun sederhana. Ramah didepan khalayak, memiliki pengikut lebih dari dua juta diinstagramnya.

Namun dari pemikiran dan sudut pandang, Luna amat jauh berbeda dengan perempuan pada umumnya. Perlu dijelaskan sekali lagi bahwa Luna adalah pemimpin aktivis feminisme. Pejuang kesetaraan gender, gencar memperjuangkan hak dan masa depan perempuan yang masih belum terpenuhi.

Sebelum menikah, mereka berdua sempat membuat kesepakatan yang diantaranya adalah, jangan menuntut Luna menjadi istri yang tunduk pada suami, lalu meminta Arjune untuk selalu menghargai keputusannya. Tidak saling memaksakan kehendak, iya artinya iya, dan tidak artinya tidak, bukan kebalikannya. Arjune tentu saja menyepakati. Selama satu setengah tahun pernikahan, tidak pernah sekalipun Arjune meminta Luna masuk kedapur untuk memasak. Bercinta hanya ketika Luna mengiyakan, bahkan tidak pernah bertanya banyak hal ketika ia pulang dari kantor Luna masih belum dirumah.

Pernikahannya hanya diisi dengan kesabaran. Dirinya yang terus mengalah dan memaklumi. Hidup dengan tekanan dari berbagai pihak untuk mempertahankan pernikahan yang sudah diujung tanduk. Rasanya ia ingin menyerah.
Tidak satupun memihaknya. Semua orang hanya melihatnya sebagai suami yang gagal



"Abang, makan dulu ya."

Suara Andin, adik perempuan satu-satunya. Sepulang bekerja, Arjune tidak kembali kerumahnya, ia justru mengemudikan mobil menuju rumah orangtuanya yang memiliki jarak tempuh satu setengah jam dari kantornya. Dua kali lipat lebih jauh dari jarak kantor menuju rumahnya sendiri. Namun ia harus melakukannya jika tidak ingin benar-benar gila menghadapi permasalahan rumah tangga yang tidak ada habisnya.

Ia yang semula berbaring disofa dengan lengan menutupi matanya, menyembunyikan tangis, perlahan bergerak. Mengintip sesaat dari bawah lengan untuk kemudian menemukan adiknya membawa piring berisi masakan ibunya.
"Gak usah dengerin mama, Andin tau kok, abang gak salah. Makan dulu ya."

Mungkin pikirannya salah, tentang tidak ada seorangpun yang memihaknya, ia hanya melupakan keberadaan sosok adik perempuan yang selalu mengerti dirinya. Tempatnya bercerita, satu-satunya orang yang bisa menerima keluh kesahnya tanpa menghakimi. Karenanya, ia semakin menangis. Semakin merasa gagal pula menjadi kakak. Seharusnya ia menjadi panutan, menjadi sosok terkuat untuk menjaga adik perempuannya, bukan malah sebaliknya.



Namun pada akhirnya, Arjune mampu menghabiskan satu piring makan malamnya. Andin disampingnya kembali bersabar mendengarkan keluh kesah yang menyiksa batin dan pikirannya.

"Abang gak mau ke psikiater juga? Gak tebus resep juga gak apa kok, bisa cerita-cerita masalah abang aja."      Jeda sejenak, Andin menggenggam tangan Arjune seraya menepuk-nepuk pelan memberikan ketenangan.       "Ini maksudnya bukan Andin gak mau dengerin cerita-ceritanya abang lagi, kan kalau konsultasi ke ahlinya bakalan dapet solusi yang baik juga. Kalau abang mau, Andin bisa atur jadwalnya. Mau ya bang, please?"



Entah sudah berapa kali bujukan adiknya ditolak secara halus, kali ini akhirnya ia mengiyakan tawaran adiknya. Mengosongkan jadwal untuk mendatangi klinik psikiater yang ditunjukkan oleh sang adik. Berharap beban-beban yang menari-nari dipundaknya dapat hilangkan meski perlahan.




















TBC

Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang