Entah apa yang dipikirkan Sarah ketika secara tiba-tiba tangannya dengan berani menyentak kasar lengan Luna yang hendak membuka pintu ruang rawat ibu mertuanya, lebih tepatnya ibu mertua mereka berdua. Tanpa rasa sungkan, Sarah menarik lengan Luna menjauhi pintu, mengurungkan niatnya sendiri untuk memberikan bubur putih pesanan ibu mertuanya. Keberadaan Luna mengalihkan seluruh pikiran jernihnya. Dengan langkah yang begitu cepat, Sarah membawa madu-nya menuju ruang tunggu yang letaknya cukup jauh dari ruangan ibu mertuanya untuk berbicara empat mata.Begitu cengkeraman pada pergelangan tangannya terlepas, Luna terlihat mengusapnya malas. Secara terang-terangan menunjukkan seolah bekas sentuhan tangan Sarah adalah sesuatu yang bernajis; yang mana harus sesegera mungkin disucikan kembali.
"Duduk, Lun." Sarah berbicara tepat setelah mendudukkan dirinya, tidak begitu peduli ketika ucapannya hanya dibalas dengan putaran mata malas dari wanita yang dulu sempat menjadi temannya.
Tanpa sepatah kata, Luna mendudukkan dirinya. Membuang tatapan ke segala arah, hanya tak sudi memusatkan pandangan pada Sarah.
"Kamu ngapain kesini?" Sarah kembali bertanya. Namun ketika pertanyaannya hanya dijawab dengan keheningan, iapun kembali melanjutkan. "Gak capek kamu, Lun?"
Lantas, Luna dihadapannya menolehkan kepala menatapnya tajam, nampaknya masih enggan membuka suara. "Berhenti aja, bisa gak? Move on, jalani hidup baru, kejar kebahagiaan kalian sendiri-sendiri.""Maksud kamu apa?!" Nada suara Luna ketus, seperti biasa.
"Gak usah pura-pura bodoh lah, aku tau semuanya kok. Kamu baik ke mama cuma sandiwara kan, buat apa aku tanya? Nyari simpati? Udah terlambat gak sih?"
Maka, Luna menyeringai dalam dengusannya. Merasa muak luar biasa. Apabila ingin dijelaskan, keduanya sama-sama menyimpan rasa muak pada satu sama lain, sebenarnya. "Aku mau nyari simpati atau nyari duit juga, urusannya sama kamu apa?" Jeda sejenak, Luna mengangkat satu tangan untuk menyelipkan rambut ke belakang telinga menggunakan jemari lentiknya. Berlagak anggun seolah tidak sedikitpun terusik dengan ucapan Sarah. Masih dengan senyuman tidak enak dipandang yang terpampang pada wajahnya, Luna melanjutkan ucapannya. "Padahal kata 'apa gak capek' itu lebih pantes ditanyain ke kamu gak sih, Sar?"
Sarah ditempatnya mengerutkan dahi tidak mengerti. "Iya, emang kamu gak capek mati-matian deketin mamanya Arjune, padahal jelas-jelas mama bilang dihatinya cuma aku yang dianggep menantu. Wake up, kamu gak penting buat mama, Sar. Aku cukup tau mama Arjune sifatnya kaya gimana, jadi, mau sekeras apa usaha kamu buat deketin mama, gak guna. Gak bakal dilihat kok." Lanjut Luna dengan satu dengusan bengis mengekor diujung kalimatnya.Dari penuturan Luna, tampaknya sedikit menohok relung hati Sarah. Segala ingatan tentang ucapan menyakitkan ibu mertuanya beberapa hari lalu kembali mengusik ketenangan hatinya. Sedikit terpengaruh, Sarah seolah kehilangan kepercayaan diri. Ia menunduk, menahan letupan sakit hati yang seolah berusaha mengambil alih kewarasannya. Cukup lama bergelut dengan pikiran kacaunya hingga tiba-tiba bayangan Arjune melintas dalam kepala, Sarah kembali menemukan kekuatannya. Lantas kepalanya mendongak membalas tatapan Luna, ia mengerahkan sisa kesabarannya untuk membalas hinaan istri pertama suaminya. Sarah sudah menunggu cukup lama untuk membalas seluruh perlakuan buruk Luna dibelakangnya. Termasuk rumor dan gosip-gosip tidak bermutu tentangnya yang tiba-tiba saja tersebar luas disosial media.
"Cill, honey, semua orang juga tau kok, but who cares? Yang nikahin aku kan anaknya, yang nafkahin aku, yang bahagiain aku, yang meluk aku pas tidur, yang ciumin keningku tiap bangun tidur, terus kalau mamanya June gak suka aku, emang aku peduli? As long as Arjune Dewangga loves me, i guest thats whats important." Mengulas senyum tipis, Sarah dengan sengaja mengeluarkan kata-kata yang ia yakin cukup mampu melemahkan Luna. "Aku sih santai aja, toh suamiku sendiri yang nyuruh buat gak peduli."
Dan Sarah bangga dengan kemampuan bicaranya menyerang balik celaan Luna. Terlihat jelas ketika seringai tipis dibibir Luna perlahan memudar dan hilang.
"Kamu gak malu ngomong kaya gini didepanku, Sar?"
"Kenapa harus? Aku lagi banggain suamiku, bagian mana yang bikin malu?"
"Laki-laki yang kamu sebut suami itu punyaku, kalau kamu lupa. Gak malu kamu banggain suami hasil ngerebut?"
Sarah menggeleng pelan sebagai jawaban. "Lun, Lun. Pintermu cuma didepan komunitasmu aja ternyata. Perkara ginian aja masih gak ngerti juga. Oke, biar aku jelasin." Jeda, Sarah memperdalam tatapannya pada Luna. "Pertama, gak ada yang ngerebut ataupun direbut, karena Arjune bukan barang, dia manusia punya hati, punya perasaan. Salah besar kamu mikir kalau dia cuma bisa disetir. Dia bisa mikir, Lun, bisa milih mana yang baiknya dijalani dan mana yang enggak. Kedua, aku berani maju karena sejak awal tau kalau pernikahan kalian gak sehat, bahkan gak layak disebut rumah tangga. Dari awal sejak kamu sering cerita soal suamimu, aku udah mikir ada yang gak beres diantara kalian. Sampai aku yang tiba-tiba ketemu Arjune tanpa sengaja disalah satu klinik pelayanan kesehatan mental waktu itu, tanpa tau kalau ternyata Arjune adalah sosok suami yang sering kamu jelek-jelekin didepan temen-temenmu, aku bisa nilai kok, kamu yang sakit disini. Kamu gak pantes berdiri disamping laki-laki luar biasa seperti dia. Luna," Sarah mempertegas nada bicaranya. "Kalau aja rumah tangga kalian adem ayem, aku juga bakal tau diri. Gak bakalan aku jatuhin harga diri buat rela disebut sebagai perebut. Tapi demi Arjune, demi nyelametin suamiku dari perempuan jahat seperti kamu, aku terima dinilai buruk sama semua orang. Waktu akan menjawab semuanya kok, kita tinggal diam dan semua akan terkuak kalau nyatanya kamu yang buang Arjune dari hidupmu dan aku yang senang hati nerima dia dengan tangan terbuka."
"How dare you!"
"Kenapa? Kamu marah? Sakit hati? Coba sebutin bagian mana dari kata-kataku yang bikin kamu tersinggung, Lun."
Keduanya masih saling berdebat mengumbar keburukan masing-masing ketika ayah Arjune tiba-tiba berlari mendekat untuk melerai. Memposisikan tubuhnya berdiri diantara kedua menantunya yang sesekali masih beradu mulut dihadapannya.
"Jangan seperti anak kecil tidak punya etika. Jangan bikin malu Arjune dengan sikap kalian berdua yang bertengkar didepan umum seperti ini." Ayah Arjune yang biasanya selalu sabar dan suka bercanda, tampaknya benar-benar tersinggung dengan perilaku kedua menantunya. Pantas, sebab bagaimanapun, kedua wanita yang menyandang sebagai istri dari putra sulungnya tersebut, secara tidak langsung akan melibatkan putranya kedalam masalah apabila diantara mereka tidak ada yang mampu menjaga sikap. "Gak usah saling bertemu kalau cuma bikin bertengkar. Papa gak akan nanya masalah kalian apa, tapi buat sekarang, mending Luna pulang. Biar Sarah disini yang jagain mama. Ketemu sama mama lain kali aja kalau Sarah udah pulang ke rumahnya."
Tentu saja, ayah Arjune memang lebih menyukai Sarah daripada Luna, berbanding terbalik dengan ibunya.
Setelahnya, tanpa menunggu pengusiran yang kedua, Luna segera bangkit dan menunduk pamit dihadapan ayah mertua sebelum kemudian berbalik dan melangkah menjauhi mereka berdua.•
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
General FictionBerapa banyak orang yang menganggap pernikahan itu sakral? Sepertinya hampir semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai pernikahan. Sakral, bukan permainan. Namun, bagaimana jika ada dua orang yang memiliki persepsi lain tentang pernikahan? ...