Satu minggu setelah menikahi Sarah, Arjune membawanya mengunjungi rumah orang tuanya. Memperkenalkan istrinya secara resmi pada ibunya yang kala itu tak hadir diacara pernikahan. Menepis segala kekhawatiran yang ada, sesulit apapun jalan yang harus dilaluinya, Arjune tetap harus mendekatkan Sarah dengan ibunya, selayaknya mertua dan menantu perempuan pada umumnya.
Ditengah perjalanan, ia beberapa kali melirik Sarah melalui center mirror untuk mengamati keadaannya. Berbeda dengannya yang merasakan setitik kegelisahan, istrinya justru terlihat begitu tenang. Bersenandung kecil mengikuti lagu yang diputar didalam mobilnya. Mengundang senyum tipis pada belah bibirnya, sebab ketenangan Sarah memberi magis menular, memberikan kenyamanan pada dirinya sendiri.
Menempuh perjalanan sekitar empat puluh menit, ia memarkir mobilnya dihalaman rumahnya yang luas. Pagar rumah didesain menggunakan sensor untuk terbuka dan menutup secara otomatis menggunakan card yang tap pada sistem kontrol yang dipasang telat disamping pintunya. Sehingga tak mengharuskannya susah payah turun dari mobil untuk membuka pagar.
Seperti biasa, ayah dan ibunya duduk teras rumah, berbincang manja ditemani camilan dan teh hangat sore hari. Begitu membawa dirinya turun dari mobil, ia segera berlari kecil untuk membuka pintu mobil untuk istrinya. Tindakan kecil yang tanpa ia sadari mampu menggelitik Sarah, menciptakan ribuan kupu-kupu beterbangan didasar perutnya. Merasa diistimewakan.
Ayahnya seketika berdiri menyambutnya, tak lupa memanggil Sarah untuk turut bergabung dan berbincang bersama. Menutupi kegugupannya, Arjune membawa tangan Sarah dalam genggaman, yang mana dibalas remasan halus dari empunya. Ia tahu, Sarah mencoba meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Maka, dengan langkah penuh percaya diri, ia dan Sarah melangkah beriringan menghampiri orang tuanya. Memeluk ayah dan ibunya, diikuti Sarah yang juga melakukan hal sama.
Dari tata bahasa yang digunakan dalam perbincangan Sarah dan ibunya, ia melihat ada kecanggungan yang nyata. Ibunya seolah menunjukkan ketidak tertarikan pada Sarah, meski istrinya beberapa kali berusaha mencairkan suasana. Menjadikannya iba, hatinya seperti tak rela meski istrinya terlihat baik-baik saja.
"Kamu kapan masuk kerja lagi, June?" Disela-sela menusukkan jarum pada sulamannya, ibunya bertanya. Membenahi letak kaca mata menggunakan punggung jari tangan seraya menatapnya.
"Senin depan, ma."
Ibunya mengangguk pelan. "Nanti kalau June kerja, Sarah ngapain?" Tatapan mata ibunya beralih pada Sarah yang duduk disampingnya.
"Dirumah aja ma, beres-beres rumah sambil nungguin Arjune pulang. Sama masak makan malam." Sarah menjawab dengan ceria, tanpa mengurangi sopan santun yang selalu melekat dalam dirinya.
"Bisa memang? Kamu bukannya anak tunggal ya? Yang kaya gitu biasanya anak manja." Ibunya mencela. Melunturkan senyuman manis pada bibir istrinya.
"Bisa. Masakan Sarah enak. Sarah rajin kok, ma. Rumah juga selalu rapi, dia gak bisa liat barang berantakan."
Arjune membalasnya. Merasa tidak terima istrinya diperlakukan sedemikian rupa. Tidak bermaksud membandingkan, akan tetapi, untuk urusan rumah, Sarah jauh lebih baik dari Luna. Semenjak bersama Sarah, ia tidak lagi membeli makanan dari luar. Sarah selalu menawarkan diri untuk bereksperimen membuat masakan-masakan yang dilihat dari konten youtube. Meski hasilnya tidak selalu sempurna, namun ia selalu mengapresiasi usaha istrinya.Pernah sekali waktu, ketika Sarah selalu membereskan rumah, melipat selimut setelah bangun tidur, mencuci dan melipat pakaian mereka berdua, ia bertanya "Kenapa kamu kerjain sendiri? Kita bisa orden go clean buat beresin rumah, baju-baju kita dilaundry aja, nanti kamu capek?", Sarah justru tertawa dan membalas, "Yang kaya gini kan basic, kalau bisa dikerjain sendiri ngapain bayar orang."
"Lagian, June yang minta Sarah dirumah aja. Biar ada yang nyambut kalau capek pulang kerja."
Ibunya terhenyak mendengar jawabannya. Tampak seperti tersentil, teringat akan curahan hatinya mengenai sikap Luna yang ia ceritakan beberapa waktu lalu.
"Makan malam disini ya, bareng-bareng sekalian nunggu Andin pulang kuliah." Ayahnya yang menyadari ada ketegangan, segera mengalihkan topik pembicaraan. "Mama belanja banyak, tinggal masak aja."
Pada akhirnya, ia dan Sarah menyetujui permintaan ayahnya. Ibunya memasak menu makan malam dengan Sarah yang membantu menyiapkan. Arjune dan ayahnya berbincang membahas perihal pabrik tekstil selagi menunggu makan makan malam dihidangkan, sembari sesekali melirik ke dapur dari kejauhan. Memastikan tidak ada pertikaian antara Sarah dan ibunya.
Hingga makan malam usai dan berjalan lancar, Arjune dapat bernapas lega ketika berpamitan untuk segera pulang. Meski ketidak sukaan masih terlihat nyata, namun ibunya bersikap baik pada Sarah sebagaimana Sarah yang juga memperlakukan ibunya dengan baik. Tidak seburuk pertemuan pertama ketika ibunya yang memilih mengunci diri karena enggan berbicara pada mereka.
"June pamit ya, mama papa sehat-sehat. Andin juga, jaga kesehatan, jagain mama sama papa."
Ucapnya pada adik dan kedua orangtuanya."Iya, abang juga, jaga kesehatan. Kak Sarah yang sabar sama abang ya."
Andin memeluk Sarah setelah melepas pelukannya."Sarah pamit ya ma, kalau Arjune gak sibuk, kita bakal sering-sering mampir."
Arjune melihat ibunya mengangguk dalam pelukan Sarah. "Jagain Arjune, ya."
Maka, ia melambaikan tangan pada ketiga orang tersayang pertanda bahwa dirinya akan benar-benar hengkang. Menyalakan mesin mobil dan membunyikan klakson yang dibalas lambaian tangan dari ayah, ibu juga adiknya yang turut mengantar kepergiannya hingga kedepan pintu pagar. Rasanya, setitik beban pada bahunya menghilang. Menyisakan kebahagiaan yang panjang.
•
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
General FictionBerapa banyak orang yang menganggap pernikahan itu sakral? Sepertinya hampir semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai pernikahan. Sakral, bukan permainan. Namun, bagaimana jika ada dua orang yang memiliki persepsi lain tentang pernikahan? ...