Tiga hari berlalu setelah pertemuannya dengan Pak Rudi, akhirnya Arjune menerima berkas perceraian berupa draft yang dikirim pengacara melalui email. Ia membaca dengan seksama. Mengamati setiap kata takut-takut ada yang hal penting yang tak tertangkap retinanya.
Pak Rudi membuatnya sempurna sesuai dengan keinginannya. Awalnya Arjune hanya ingin mengatakan bahwa perceraian mereka karena ketidak cocokan satu sama lain, namun Pak Rudi menjelaskan bahwa ketidak cocokan belum kuat dijadikan alasan. Maka dengan berat hati, ia membeberkan beberapa keburukan Luna selama menjadi istrinya, termasuk tidak lagi melayani hasrat seksualnya.Pak Rudi juga menjelaskan bahwa perceraian keduanya akan berjalan lancar, sebab tidak ada yang diperebutkan. Tidak ada perebutan hak asuh anak maupun harta gono gini. Sebab seluruh aset yang dimiliki Arjune adalah hasil kerja keras yang dibangun jauh sebelum menikahi Luna. Tentang Luna yang tidak akan mendapatkan apapun setelah perceraian, Pak Rudi sempat menanyakan apabila rumah yang kini ditempati ingin diminta kembali, beliau siap membantu di pengadilan. Namun Arjune dengan tegas menolak.
Rumah yang ditempati Luna adalah hak calon mantan istrinya. Arjune tidak akan mengusik barang sedikitpun mengenai apa saja yang pernah diberikan pada Luna. Ia justru meminta Pak Rudi untuk menuliskan surat perjanjian bahwa satu unit apartemen elit miliknya diberikan pada Luna sebagai kompensasi perceraian. Yang tentunya membuat pengacaranya sedikit tertegun tak percaya.
Atas saran Pak Rudi, Arjune menghubungi Luna bahwa ia dan pengacaranya akan menyambangi rumah keluarganya guna membicarakan perihal perceraian. Akan lebih baik jika Luna bersedia menandatangani surat cerai mereka tanpa harus membawa kasus naik ke persidangan.
Namun alih-alih menyetujui, Luna justru mendatangi kantor Arjune dan memasuki ruangan tanpa salam. Membanting pintu dengan murka sebelum kemudian melangkah mendekat menghampirinya. Dengan hembus napas tak beraturan, Luna berdiri tepat dihadapannya dan menampar pipinya tanpa aba-aba.
Arjune yang tidak siap dengan serangan Luna masih diam mencerna semuanya. Mengusap sebelah pipinya yang terasa kebas sebelum akhirnya menghela napas berat.
"Lun?"Luna tak menjawab. Hanya menatapnya tajam dengan dada naik turun akibat deru napas yang tak beraturan.
"Duduk dulu." Arjune berkata lagi.
"Aku gak nyangka kamu sebrengsek ini!" Jawaban Luna kembali membungkamnya. "Udah, cuma sampai sini aja? Cinta yang kamu bilang gak ada batasnya? Janji yang kamu bilang akan jadi pendampingku selamanya. Sumpah setia yang kamu ucap didepan Tuhanku, hidup dan matimu bersamaku. Selamanya buat kamu cuma segini aja?"
"Luna, i'm sorry. I'm so sorry."
Luna menggeleng tegas sebagai penolakan.
"No! Aku gak butuh maaf. Gak guna." Jeda. "Gak butuh, June. Apa artinya maaf kalau akhirnya kamu ninggalin aku buat perempuan lain?"Arjune kembali kehilangan kata begitu netranya menemukan Luna menangis karenanya. Hatinya turut teriris pedih. Dalam benaknya, menyakiti Luna adalah hal yang sangat amat tidak ingin ia lakukan sepanjang hidupnya. Namun kini, ia melakukannya. Dengan sadar.
"Aku diem waktu dapat kabar kamu nikah sama Sarah. Aku diem dapet kabar akhirnya Sarah hamil. Selama ini aku diem, June. Aku biarin kalian bahagia, masih gak cukup buat kamu? Aku gak ngusik keluarga barumu gak bikin kamu puas, June? Kamu gak puas kalau gak cerai sama aku? Gak puas kalau belum buang aku dari hidupmu?!" Luna meninggikan nada suara pada ujung kalimatnya. Sedikit bentakan yang membuat Arjune dengan cepat mengalihkan pandangan.
"Gak gitu, Lun. Aku bukan mau buang kamu. Keinginanku, kita melangkah dijalan masing-masing. Bahagia dengan cara kita sendiri."
"Bahagia? June, kamu liat kan kakakku nasibnya gimana setelah cerai?"
Arjune mengerti. Menangkap implikasi dari ucapan Luna yang menyangkut pautkan dengan kehidupan kakak perempuannya yang menderita. "Kamu gak akan berakhir seperti kakakmu. Gak akan. Aku gak seperti suaminya Mayla yang lepas tanggung jawab gitu aja setelah cerai sama mantan istrinya." Kemudian, Arjune memutar layar komputernya kehadap Luna. Menunjukkan isi draft perceraian dari pengacaranya. "Disini udah tertulis, aku kasih satu apartemen buat kamu. Bisa disewain atau mau dijual, bebas, terserah kamu. Terakhir aku cek, harga jualnya sudah mencapai empat miliar. Rumah kita yang sekarang kamu tempati juga gak ku ambil. Rekening depositoku dan ATM yang kamu pegang juga buat kamu, itu udah lebih dari cukup buat penuhin biaya hidup kamu dan keluargamu." Jeda lagi, Arjune menatap Luna dalam-dalam. "Kalau itu yang kamu takutkan, aku pastikan hidupmu gak akan kekurangan walaupun kita udah gak sama-sama."
"June." Luna menatapnya setelah mendengar seluruh penjelasannya. "Kamu beneran mau lepasin aku? Kamu gak mau pikirin lagi? June, aku cuma punya kamu buat jagain aku. Kalau kamu pergi, aku sama siapa? Aku gak punya siapa-siapa."
Mendengar pernyataan Luna, pertahanan diri Arjune nyaris goyah.
"Lun, udah ya.""Kamu beneran udah gak cinta lagi sama aku? Udah gak ada? Sedikitpun? Sembilan tahun kita udah gak ada artinya buat kamu, June?"
"Please, udah ya, Lun. Kita udah gak bisa sama-sama. Gak ada yang bisa dipertahankan dari rumah tangga kita."
Melihat Luna yang putus asa, ingin rasanya Arjune meraih Luna kedalam dekapannya. Namun ia setengah mati menahan dirinya. Arjune tidak ingin termakan oleh cinta buta dan merusak seluruh agendanya. Keputusannya untuk menceraikan Luna sudah bulat. Meski berat, ia tak akan berhenti melangkah. Sudah terlanjur menceburkan diri, tak ada jalan untuk kembali. "Besok aku kerumahmu, kita omongin perceraian ini sama keluargamu. Dulu aku minta kamu baik-baik, sekarang aku juga mau kembaliin kamu baik-baik. Biar gak ada salah paham, gak ada dendam antara kita semua."•
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
Художественная прозаBerapa banyak orang yang menganggap pernikahan itu sakral? Sepertinya hampir semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai pernikahan. Sakral, bukan permainan. Namun, bagaimana jika ada dua orang yang memiliki persepsi lain tentang pernikahan? ...