Pertemuan

22 1 0
                                    


Pada akhirnya Arjune mendatangi klinik psikiater dengan ditemani Andin, adiknya, tanpa sepengetahuan istrinya. Hubungannya dengan Luna tidak sedikitpun membaik. Istrinya bukan lagi memberi tuduhan padanya, justru semakin buruk sebab Luna selalu diam seolah tidak menganggap keberadaannya.

Pernah sekali waktu ia bertanya, apa salahnya sehingga diperlakukan seperti itu, namun Luna hanya meliriknya sinis tanpa membuka mulutnya untuk bersuara. Diamnya membuat luka dihatinya semakin menganga. Rasa tidak pantas dan tidak berguna semakin menggerogoti pikirannya. Melumpuhkannya perlahan. Ia merasa seperti energinya terkuras habis. Tidak berdaya dan tidak memiliki tenaga untuk melakukan kegiatan apapun. Tanpa dia sadar, berat badannya turun drastis entah sejak kapan. Andin yang justru menyadarkannya.


Sudah lewat dua puluh menit sejak kedatangannya di klinik, Arjune ditemani Andin masih duduk dikursi tunggu yang berada tidak jauh dari pintu ruangan Psikiater. Menunggu pasien sebelumnya menyelesaikan sesi konsultasi. Andin disampingnya terus menerus memberikan semangat untuknya. Meremas halus telapak tangan penuh rasa sayang.

Pada menit ketiga puluh, pintu ruangan terbuka, dua orang wanita tampak berdiri saling berhadapan didepan pintu. Berpamitan. Salah satunya mengenakan Jas putih, yang ia yakini adalah psikiater yang juga akan menanganinya nanti. Sedang satu wanita lainnya, berpakaian santai, tampak elegan dan cantik meski ada bekas sembab dikedua matanya, sisa tangisan selepas konsultasi permasalahan yang dialaminya. Tidak ada yang aneh baginya, kecuali wajah wanita bermata sembab yang tampak tidak begitu asing dimatanya. Berupaya menarik mundur ingatannya, barangkali sahabat lama, namun tidak menemukan jawabannya. Membuatnya masa bodoh sebelum akhirnya membawa kakinya melangkah memasuki ruangan, sesaat setelah mendengar namanya diteriakkan.

Arjune pikir waktu dua jam yang disediakan setiap satu sesi pertemuan akan menjadi terlalu lama, ia sempat ingin negosiasi karena tidak ingin bercerita terlalu banyak. Namun kenyataan yang terjadi adalah, ia tidak berkata apapun selama nyaris empat puluh menit lamanya. Otaknya seperti disorientasi. Entah kebingungan akan memulai darimana, atau tidak tega menceritakan keburukan istrinya pada orang asing yang notabene baru pertama kali ia temui.
Dan ia yakin, opsi kedualah jawabannya.

Sesering apapun Luna mencemoohnya didepan kerabat dan teman-temannya, Arjune tetap melihat Luna sebagai sosok yang pantas ia muliakan kedudukannya. Maka ketika psikiaternya bertanya tentang apa yang membebaninya, ia secara tiba-tiba hilang akal.

Satu jam berlalu dan ia masih membeku. Kepalanya menoleh kearah adiknya untuk menemukan sorot mata berkaca-kaca yang membuat rasa bersalah kian menggelayutinya.
Psikiater muda dihadapannya tidak juga menyerah memberinya umpan untuk bersedia membagi beban. Haruskah ia bercerita?

"Gak apa-apa kak, pelan-pelan, kakak bisa ceritakan apa saja yang membebani kakak selama ini. Biar kita bisa cari solusinya sama-sama, ya?"

Ada ketenangan yang beriringan dengan suara halus dr.Dinda, psikiaternya. Seperti ditimang-timang, rasanya ia kembali pada masa kecil, masa dimana hidupnya hanya diisi dengan bermain dan belajar tanpa harus merasakan pahitnya hidup. Sejenak, ia merindukan ibunya. Rindu pelukan ibunya, rindu belaian halus pada rambutnya, rindu dendang lagu yang dinyanyikan sebagai penghantar tidurnya. Maka, ia hanya menangis dan menangis hingga sesi pertemuan habis.


Andin membuat janji temu kedua kali untuk hari berikutnya sesuai dengan jadwal kosongnya. Lagi-lagi, ia hanya pasrah ketika Andin mengantarkannya pulang kerumahnya yang kosong dan sepi. Ia tahu, Luna tidak pulang kerumah.






















TBC

Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang