Hari berikutnya, Arjune harus berangkat ke kantor dengan gemelut perasaan yang tercampur aduk. Rasa khawatir, rasa takut dan juga kegelisahan yang tiba-tiba seperti mendobrak ulu hatinya, ketika ia dengan terpaksa meminta tolong pada Sarah untuk menemani ibunya di rumah sakit. Ayah yang sebelumnya menunggu, tiba-tiba mengeluh pusing kepala karena tidak tidur semalaman, sedangkan Andin harus pergi ke luar kota selama tiga hari untuk urusan kampusnya.
Pada awalnya, ia sempat berencana untuk membawa pulang pekerjaan dan mengerjakannya dirumah sakit sembari menunggu ibunya. Akan tetapi, Sarah yang berkata merasa tak enak hati akhirnya menawarkan diri.
Ada sedikit perdebatan sebelum pada akhirnya ia menyetujui saran Sarah yang memintanya tetap pergi ke kantor. Sarah bersikukuh bahwa hal-hal yang tidak mengenakan seperti beberapa waktu lalu tak akan terjadi kembali. Maka, dengan berat hati, menghempas beberapa keraguan yang berlarian dikepala, Arjune menerima saran dari istrinya.Begitu jam bekerja usai, Arjune mendesah tak tenang ketika mengecek ponselnya tidak ada notifikasi dari Sarah. Panik, iapun secepat mungkin keluar dari kantor dan mengemudikan mobil untuk menghampiri ibu juga istrinya. Khawatir apabila kejadian yang tak diinginkan kembali menimpa orang-orang tersayangnya.
Namun, begitu tiba diruangan ibunya, pemandangan yang pertama kali tertangkap retinanya adalah Sarah yang tengah menyuapi ibunya dengan telaten. Wajah ibunya pun terlihat berseri-seri, tidak lagi murung seperti waktu pagi, terakhir kali ia lihat saat berpamitan untuk pergi bekerja."Hai, ma." Sembara membawa langkah kakinya mendekat, Arjune lebih dulu menyapa ibunya. Mencium kedua pipinya secara bergantian, sebelum kemudian mencium sarah tepat dikeningnya lama. Ia pun tak lupa mengusap halus kepala istrinya penuh sayang, hal kecil yang sudah menjadi kebiasaan ia lakukan semenjak tinggal seatap dengan Sarah. "Hai, Sar. Gimana hari ini?" Tanyanya, sekadar basa basi sederhana.
"Baik, mama juga baik. Iya kan, ma." Sarah menjawab, diikuti ibunya yang mengangguk pelan sebanyak tiga kali.
"Gimana kamu dikantor? Gak ada masalah kan?"Arjune menggeleng sebagai jawaban. "Gak kok, paling juga masalah kecil kaya biasa. Gak ada yang mengganggu."
Lantas, ketiganya saling berbincang kecil membicarakan banyak hal termasuk kondisi kesehatan ibu yang sudah membaik. Arjune mendengarkan dengan seksama ketika Sarah menjelasan kembali beberapa wejangan dari dokter mengenai keadaan ibunya, yang sebenarnya Arjune sudah amat paham. Karena, kejadian ibu keluar masuk rumah sakit karena hipertensi bukanlah hal baru baginya. Ibunya termasuk orang yang keras kepala, terlalu banyak memikirkan pandangan-pandangan orang terhadap keluarga mereka. Arjune maupun ayah dan Andin sudah sering memberi nasehat untuk tidak perlu memperdulikan pandangan orang lain yang tidak memberi kontribusi terhadap hidup mereka, tetapi, kembali lagi pada watak ibunya yang keras kepala dan enggan menerima masuk berbagai nasehat, tentunya mereka semua tidak dapat berbuat apa-apa.
"Tuh, mama denger kan, gak boleh mikir berat. Harus sayang sama diri sendiri."
"Ya namanya pikiran kaya gitu kan datang sendiri, June. Mama juga gak mau sebenarnya. Tapi kalau malam itu, kayak semua masalah masuk kepikiran mama." Jawab ibunya serasa menepuk-nepuk keningnya sendiri. Seolah menyalahkan isi kepalanya yang tidak pernah bisa diajak kompromi untuk menjalani kehidupan yang lebih tenang tanpa memikirkan banyak hal.
Disini, Sarah mengangguk menyetujui. "Tapi bener sih. Jam malam kan emang pas buat overthinking." Ucap Sarah disertai tawa pelan yang menyenangkan.
"Iya, kamu juga kan. Malem-malem bukannya tidur malah ngajak mikir. Ini nanti gimana, kalau gitu gimana, banyak banget yang kamu gimanain. Cocok emang sama mama."
Ditengah obrolan ringan mereka, tiba-tiba pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok ayah yang tersenyum lebar seraya menatapnya.
Belum sempat ia menyapa, ayah lebih dulu berbicara."Wah, siapa ini?" Ayahnya bertanya penuh canda. Menghampirinya dan menepuk-nepuk bahunya yang lelah sebelum kemudian kembali menggodanya. "Siapa yang mau jadi papa baru disini?"
Semua orang yang berada dalam ruangan tertawa, kecuali dirinya yang dibiarkan linglung tak tahu apa-apa.
"Apa sih, pa? Siapa yang mau jadi papa baru?" Kemudian, ia menolehkan kepala cepat menatap ibunya curiga. "Mama gak hamil lagi kan?"Bukan tanpa alasan mengapa ia bertanya demikian. Sebab, sejak kedatangannya, raut wajah ibunya terlihat begitu ceria, tampak seperti seseorang yang baru saja mendapat hadiah besar. Tidak salah kan jika ia berpikir demikian? Namun, bukannya memberi jawaban, ayah justru kembali tertawa pelan. Mengusap kepalanya sayang sebelum akhirnya menjawab dengan lantang.
"Ya enggak dong. Ada-ada saja kamu ini." Ayah menjawab.
Lalu, ditengah kebingungan yang melanda, Sarah tiba-tiba mengulurkan tangan dengan satu testpack bergaris dua berwarna merah dan juga satu lembar kertas yang terlipat apik dalam genggaman.
Dengan tangan gemetar, ia menerimanya. Membuka lipatan kertas dengan hati-hati, membacanya perlahan-lahan supaya tidak ada satupun kalimat yang terlewat. Hingga seluruh kata sudah terbaca, ia menolehkan kepala tak percaya menatap istrinya.
"Ini punyamu, Sar? Ada nama kamu lho disini.""Dari dokter barusan." Sarah berucap pelan.
"Beneran punyamu, kan?"
"Ya iyalah, June. Kamu kenapa sih?" Sarah tak berhenti tertawa ketika menjawab pertanyaannya. "Udah mau jadi ayah bukannya seneng malah bingung."
Maka, tanpa menunggu lama, Arjune segera bangkit untuk kemudian meraih istrinya dalam pelukan. Mendekapnya erat penuh sayang seraya merapalkan kata 'terima kasih' berulang-ulang.
Sarah sedang mengandung buah hatinya, darah dagingnya. Demi apapun, Arjune belum pernah merasa sebahagia ini seumur hidupnya.•
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
General FictionBerapa banyak orang yang menganggap pernikahan itu sakral? Sepertinya hampir semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai pernikahan. Sakral, bukan permainan. Namun, bagaimana jika ada dua orang yang memiliki persepsi lain tentang pernikahan? ...