Hari ketujuh perawatan, Arjune mendapatkan kabar dari ayah bahwa ibunya sudah diperbolehkan untuk pulang. Ia sempat menawarkan diri untuk datang menjemput, akan tetapi ayahnya menolak secara halus. Tidak ingin menambah kerepotan ditengah pekerjaannya yang teramat padat. Hanya memintanya menyempatkan waktu untuk menjenguk ibunya dirumah ketika pulang dari kantor nantinya, dan ia pun melakukannya. Beberapa hari tidak pernah absen menghampiri ibunya meski hanya mampir untuk melihat keadaannya.Biasanya, Arjune hanya akan duduk ditepi ranjang menemani ibunya berbincang, dan segera pamit pulang ketika ibunya sudah larut dalam tidurnya yang tenang.
Sayangnya, tengah malam ketika semua orang terlelap dalam tidurnya, Arjune mendapat kabar dari ayah yang mengatakan bahwa ibunya kembali harus mendapat perawatan. Ditengah kepanikan yang melanda, ia segera bangkit dan menyahut asal pakaian yang ada didepan mata. Tak sempat berpamitan pada Sarah yang tampak terlelap disampingnya. Hanya ingin segera menancap gas dan menghampiri rumah sakit yang disebut ayahnya.Begitu tiba diruang rawat inap ibunya, Arjune menyapa Andin dan ayahnya yang semula sedang berbincang, duduk saling berhadapan disofa yang terletak tidak begitu jauh dengan ranjang tempat dimana ibunya tertidur lelap. Yang pertama kali ia lakukan adalah menghampiri ibunya, mengusap harus rambutnya yang diikat sembarangan, lalu menghela napas panjang.
"Sini duduk." Sembari memanggilnya, ayah sedikit bergeser dari posisi duduk, menepuk-nepuk ruang kosong pada sofa dan iapun mendudukkan diri diatasnya. "Maaf ya, papa ganggu malam-malam."
Arjune menggeleng pelan. "Gimana ceritanya, pa?"
"Biasalah, bang. Mama kan emang suka overthinking." Andin menyahut.
"Mikirin Luna lagi?"
Arjune melihat Andin mengendikkan bahu sebagai jawaban. "Ya gitulah."
"Sebenarnya kemarin-kemarin kondisi mama sudah lumayan membaik, tapi," Jeda, ayah terlihat menarik napasnya lelah. Dan Arjune paham, sebab merawat orang yang sedang sakit memang tidak mudah. Terlebih lagi ibunya yang akan berubah menjadi sangat manja ketika kesehatannya tidak begitu baik. "Kemarin mama cerita, katanya dapat telfon dari mamanya Luna, nangis-nangis gitu pokoknya. Papa juga gak terlalu paham." Lanjut ayahnya.
Namun penjelasan dari ayah tak membuatnya paham, baginya justru semakin membingungkan. "Nangis-nangis gimana? Yang nangis ini siapa?"
"Mamanya Luna yang nangis-nangis ngomongin kalian. Kata mama, Bu Rina sakit hati karena kamu nikah lagi gak minta izin dulu sama keluarga mereka. Kata mama juga, Bu Rina ada bilang kalau kamu gak hargai mereka karena keluarga mereka miskin. Papa gak suka dengarnya June. Seolah-olah mereka anggap kamu, anggap keluarga kita ini memandang orang lain cuma dari harta." Jeda lagi, ayah menatapnya dengan pandangan mata menuntut. "Tapi, apa benar kamu nikah lagi gak minta izin mereka dulu?"
Arjune mengangguk, tentu saja. "Luna sendiri yang minta buat gak libatin keluarga dia dalam urusan June. Terus salahnya June dimana?"
"Salahnya ya abang nikah lagi." Andin lagi-lagi menyahut, membuatnya menolehkan kepala reflek, menatap adiknya tajam. "Andin gak nyalahin abang. Cuma bercanda dikit. Maafin."
"Susah, June. Posisimu juga serba salah. Kamu izin atau gak izin ke keluarga Luna juga tetap saja, mereka anggap kamu sebagai pihak yang salah." Ayahnya menjelaskan. "Terlebih lagi sifatnya Luna, gak mungkin dia bantuin kamu kan. Yang ada malah bikin keadaan jadi semakin rumit."
Arjune menundukkan kepala sembari mengacak rambutnya. Frustasi. Merasa seperti permasalahan datang menghajarnya bertubi-tubi. "Kalau saran papa, cerai saja. Rumah tanggamu sama Luna itu ibaratnya sudah roboh. Gak bakalan bisa dibangun lagi. Sudah cacat. Lagipula, sudah ada Sarah yang lebih baik.""June maunya juga gitu, pa." Jawabnya lirih. "Bukan karena udah ada Sarah juga, tapi emang Arjune udah gak bisa sama Luna. Masalahnya, Luna gak mau cerai. Papa tau sendiri kan?"
"Urus sendiri kan bisa. Papa bisa bantu cari advokat paling hebat buat kamu. Mau?"
Tawaran dari ayahnya memang terdengar menggiurkan, namun tak lantas membuatnya menurut dan mengiyakan. Jikapun harus bercerai dengan Luna, Arjune ingin perpisahan mereka tidak menyisakan luka. Ia menginginkan perpisahan yang baik, sebagaimana awal pertemuan yang juga baik-baik. Semua yang berawal baik, harus berakhir dengan baik juga.
Sebab, Arjune orang yang rasional, selalu memikirkan segalanya dengan matang sebelum berakhir mengambil suatu keputusan.
•
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
General FictionBerapa banyak orang yang menganggap pernikahan itu sakral? Sepertinya hampir semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai pernikahan. Sakral, bukan permainan. Namun, bagaimana jika ada dua orang yang memiliki persepsi lain tentang pernikahan? ...