Tak disangka, berawal dari pertemuan tidak sengaja diklinik psikiater yang sama kala itu mampu menyatukan kembali pertemanan dua orang yang terpisah lama. Enam bulan berjalan, intensitas pertemuan Arjune dengan Sarah semakin sering, nyaris setiap hari disaat jam istirahat makan siang kantornya. Sarah yang datang terlebih dahulu untuk memesan tempat, dan Arjune akan menyusul ketika jam istirahat tiba.Tidak ada hal khusus yang dilakukan, keduanya hanya akan saling bertukar cerita layaknya teman pada umumnya. Saling membagi sedikit beban supaya tidak selamanya menggantung dipikiran. Satu hal yang dapat Arjune simpulkan, Sarah adalah sosok perempuan yang hangat. Perhatian pada hal-hal kecil yang terkadang Arjune sendiri tidak memperhatikan.
"Dihitung dari awal pacaran sampai nikah, berarti kalian udah bareng hampir sembilan tahunan dong ya?" Sarah bertanya setelah menyeruput secangkir kopi hangatnya. Keduanya memutuskan untuk mengobrol santai sembari memesan kopi hangat yang tampaknya sangat pas dinikmati saat cuaca lembab setelah hujan lebat. "Tapi aneh banget, kok bisa kamu bilang kalian masih adaptasi? Maksudku, selama sembilan tahun itu ngapain aja?"
Helaan napas panjang terdengar dari bibir Arjune. Terlihat lelah acapkali membicarakan hal-hal yang menyangkut tentang pernikahan. "Tujuh tahun tuh LDR, aku kan di Kalimantan, Luna di Jakarta. Aku juga pulangnya gak tentu, kadang sebulan sekali, kadang juga dua bulan. Dan gak setiap aku ke Jakarta itu bisa ketemuan sama Luna. Ketemuanpun cuma ngobrol bentar, makan trus pulang."
"Ya, tapi kan tujuh tahun itu lama, June, gak make sense lah kalau dalam kurun waktu segitu panjang kalian masih belum kenal sifat satu sama lain?"
Ada senyum tipis Arjune yang membuat Sarah sejenak menelan ludah, bagai terhipnotis oleh pesona lesung pipit yang selama ini tak pernah ia sadari.
"Kita gak pernah telfonan, chat juga jarang. Luna orangnya slow respon banget, kadang aku chat hari, balesnya besok, kalau gak lusa."
Untuk pertama kalinya, Arjune merasa begitu nyaman membagi banyak hal mengenai kisah hidupnya dengan orang lain, selain psikiaternya. Pundaknya terasa ringan. Seolah beban-beban yang ia pikul meluncur secara perlahan. Menyisakan lahan kosong yang mampu membangkitkan kepercayadirian yang selama ini sempat memudar. "Awal-awal nikah juga dia baik kok, nyambut aku kalau pulang, pesenin makanan, for your information, dia gak bisa masak tapi aku gak permasalahin, dan gak pernah maksa dia buat belajar. Aku juga gak tau, kenapa tiba-tiba berubah gitu.""Drastis gitu ya? Apa pelan-pelan?"
"Drastis. Yang aku inget sih, Luna tiba-tiba telfon aku, nanya sambil nangis, katanya aku betah banget di Kalimantan tuh selingkuh sama siapa. Oh iya, kita sempet pisah setahun juga setelah nikah, aku pindah ke Jakarta juga baru-baru ini, belum genap setahun. Ya karena nurutin dia." Jeda sejenak, Arjune meraih cangkir americano yang dipesankan oleh Sarah, dan menikmatinya. "Kirain pas aku udah di Jakarta dia bakal berubah, balik lagi kaya sikapnya dulu, ternyata makin parah. Maaf kalau gak sopan, tapi aku sendiri lupa kapan tidur bareng sama dia."
"Kalian, kamar tidurnya pisah?"
"No, i mean, make love." Jeda lagi, Arjune tampak berpikir, memilah kata yang sekiranya pantas untuk ia ucapkan tanpa ada kesan kotor dan tidak sopan. "Kita berdua udah sepakat buat hormatin keputusan satu sama lain, harus ada consent kedua pihak setiap mau ngelakuin apapun, termasuk seks. Kalau aku ngajak, dianya nolak, ya udah, aku gak maksa."
Maka setelahnya hembusan napas iba terdengar dari belah bibir Sarah. Sebelah tangannya terulur untuk menepuk-nepuk halus punggung tangan Arjune, menunjukkan bahwa dirinya cukup memahami permasalahannya. Laki-laki pada umumnya memiliki ego raksasa yang mengharuskan semua orang mengabulkan keinginannya. Terlebih kebutuhan biologis dari pasangan. Tanpa sadar, kepalanya secara lancang membayangkan bagaimana frustasinya Arjune menahan hasrat seksual, dan apa yang kiranya dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya.
"Kamu jajan?""What?"
"Ya jajan, buat itu," Sarah tampak ragu untuk menanyakan, akan tetapi terlalu penasaran jika hanya ia pendam. "Kebutuhan biologis?"
Lantas, Arjune tersenyum menanggapi pertanyaan Sarah. Mengucap oh pelan kemudian mengangkat satu tangannya kedepan wajah. "Pakai ini. Dikamar mandi."
Dan Sarah menyesal. Merutuki dirinya yang tidak mampu menelan rasa penasarannya. Sebab hingga keduanya harus berpisah dikarenakan Arjune kembali melanjutkan pekerjaan, Sarah tidak henti membayangkan bagaimana kiranya ekspresi wajah Arjune ketika mencari kepuasan dengan tangannya sendiri.
Tampan dan seksi..
•TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
General FictionBerapa banyak orang yang menganggap pernikahan itu sakral? Sepertinya hampir semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai pernikahan. Sakral, bukan permainan. Namun, bagaimana jika ada dua orang yang memiliki persepsi lain tentang pernikahan? ...