Tangannya bergetar hebat, luka lebam ada di mana - mana. Matanya pun sembab. Tak ada hari di mana orangtuanya tidak beradu mulut. Di mata orang, kehidupannya memang terbilang sempurna. Dengan kekayaan yang melimpat, karirnya yang terbilang sukses di usia yang masih remaja, serta di anugerahi wajah yang begitu cantik. Namun tidak dengan kehidupannya.
Dia bagaikan robot. Apa yang ia lakukan bukan yang dia mau, melainkan kemauan kedua orangtuanya. Di mata semua orang dia adalah seorang gadis yang lembut, anggun, serta ceria. Tapi kepribadian itu seketika menghilang ketika sudah menginjakkan kakinya di rumah, tidak ada lagi tawa yang terdengar, guratan senyum pun nyaris tidak ada di wajahnya.
Di dalam rumah, wajahnya benar - benar datar tanpa ekspresi. Di tempat ini, ia sama sekali tak menemukan kebahagian, hanya sepaket kecewa, luka serta air mata. Ketika di rumah, dia kehilangan jati dirinya.
Dulu, Nata bukan gadis seperti ini. Semuanya berubah ketika adiknya di culik pada saat berumur dua tahun, dan mereka malah menyalahkannya padahal usianya masih menginjak empat tahun. Masih teringat jelas semuanya di dalam pikirannya.
Sudah beberapa kali dia meminum obat penenang dengan dosis tinggi setelah melukai bagian lengannya. Sudah banyak bekas goresan silet yang telah di buatnya, tapi dia masih saja belum tenang. Darah sudah mengalir deras, dia tidak merasakan apa - apa. Dia malah merasa lebih tenang, dan begitu puas.
*********
Seperti biasa, Nata berangkat sekolah di antar supir pribadinya. Memasang senyum seceria mungkin, untuk menutupi luka di lengannya ia memakai cardigan berwarna hijau mint. Dengah langkah anggun, ia berjalan menuju ke kelas.
Sudah sebulan dirinya berada di sekolah ini. Dia juga kini kian lebih dekat dengan Arin. Mungkin karena sefrekuensi--suka membaca buku.
"Nanti pulang sekolah kita ke gramedia yuk?" ajak Nata.
"Hm oke,"
"Mata kamu kayak nggak asing," ujar Nata.
"Oh iya? Mungkin cuma kebetulan aja,"
"Iya, mungkin."
"Katanya besok lo ulang tahun ya?" tanya Arin.
"Ah iya, kok kamu bisa tahu?"
"Liat di ig lo. Btw lo beneran umurnya 18 tahun?"
Nata tersenyum kemudian mengangguk."Iya, aku dulu sekolahnya di luar negeri,"
Semenjak Arin dekat Nata, ia jarang sekali mengobrol dengan Flara. Rasanya sekarang seperti ada jarak di antara mereka berdua.
Pukul tiga sore, seusai membeli novel, Arin dan Nata mampir ke sebuah resto terdekat, dan memesan makanan.
"Gue ke kamar mandi dulu ya?"
"Iya,"
Ting!
Layar ponsel Arin menyala, kebetulan tidak terkunci, jadi Nata bisa membukanya.
Lingga
Lo di mana?
mau gue jemput?"Jadi mereka berdua deket?" gumam Nata.
Lalu dia mengetikkan sesuatu, dan menekan send. Kemudian menghapus chatan itu dan meletakkan ponsel Arin ke tempat semula.
Hari sudah menjelang sore, setelah Arin kembali dari toilet, mereka mengobrol kecil sejenak. Gerimis tiba - tiba mengguyur bagian luar resto, semakin lama semakin besar dan di sertai angin kencang.
"Mending kita pulang aja yuk?" ajak Nata."aku anterin kamu ke rumah ya,"
Arin mengangguk pasrah.
**********
Lingga mendatangi lokasi yang Arin kirimkan di WhatsApp tadi, ia lupa tidak membawa payung, sehingga pada saat ia turun dari mobilnya, tubuhnya basah kuyup. Matanya melirik kesana kemari mencari keberadaan Arin, namun tak kunjung menemukannya. Lingga memutuskan untuk menunggu walau tubuhnya kini di terpa hujan.
Langit sudah menghitam, artinya hari sudah mulai malam. Hujan sedikit reda, tapi Lingga tetap setia menunggu Arin, hingga pada akhirnya tubuhnya mulai menggigil kedinginan. Ia memutuskan untuk pulang, dengan perasaan kecewa.
*********
Sudah beberapa kali, Arin mencoba untuk menghubungi Flara namun tak kunjung di angkat. Ia membuka jendelanya, menatap rumah Arsya. Kenapa ia jarang sekali bertemu di sekolah atau di rumah dengannya?
Teman curhatnya saat ini adalah Kak Adya yang kini sedang berada di Jogja. Meski lewat chat, Arin merasa puas menceritakan apa yang terjadi kepada kakak perempuannya.
Oh iya, Arin jadi kepikiran soal Lingga. Kenapa dia tidak menghubunginya lagi? Percakapan terakhir mereka berdua saat pagi, dan sekarang Lingga tidak mengiriminya pesan apapun.
Apa dia marah pada dirinya? Tapi apa alasannya. Arin kini bisa merasakan, tanpa pesan darinya di malam ini benar - benar hampa.
Ia lalu menelponnya, tersambung. Namun, tak kunjung di angkat. Ada apa ini? Kenapa sekarang hatinya gelisah?
Arin mencobanya sekali lagi, namun masih sama.
Arin meletakkan ponselnya ketika mendengar suara gaduh terdengar dari luar.
"Dia masih belum cukup umur untuk mengetahui semuanya,"
"Tapi saya tidak mau memberitahukannya," kata Ayah.
"Tapi itu penting. Dia harus tau,"
Arin memandang mereka di balik tembok, sebenarnya apa yang mereka bicarakan?
*********
maap ygy baru bisa update:3
gimana perasaan kalian pas baca cerita ini? Komen dong!
please bngt, jgn pda silent readers ya? bantu vote, oke?<33
makasii sudah membaca♡♡
see u
KAMU SEDANG MEMBACA
For You, Ex! [END]
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DI PRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA] JUDUL AWAL : Dear, Mantan! -Dari ku, untukmu- Maaf. Maaf untuk belum bisa melupakan perasaan ini. Maaf hingga kini aku masih mengharapkanmu kembali walau itu sangat mustahil terjadi...