1. Hamil

2.2K 148 64
                                    

"Bodoh kamu, Zannah!" Semenit yang lalu, wajah teduh milik perempuan itu baru saja bersujud penuh haru, mempersembahkan doanya yang teramat panjang pada sang ilahi, agar sekiranya keputusannya untuk menikahkan putrinya di usia muda sudahlah benar. Namun bagai disambar petir, semangatnya luruh seketika, bersamaan dengan deras air matanya yang melimpah. Menyesakkan sekali rasanya.

Pengakuan yang baru saja dilontarkan anak perempuan satu-satunya itu seakan menutup segala harapan yang baru saja dia panjatkan. Teringat jelas kalimat terakhir suaminya di hari-hari terakhirnya kala itu, 'jaga anak kita, Ma. Bimbing dia'. Kegagalan merambat memenuhi kepalanya, tak sanggup berbagi kata lagi, suaranya serak tertelan tangis pilu.

"Ma-maafin Zannah, Ma. Zannah bakal berusaha buat kabarin Farel." Perempuan jelita itu sungguh tak menduga, Ibunya jauh terlihat hancur dari perkiraan. Tetesan bening itu pun sudah mengalir deras, berseluncur di atas rona pipinya.

Menarik napas dalam-dalam, dia menatap anaknya dengan gelinang air mata. "Tidak ada seorang ibu yang menginginkan keburukan pada anaknya. Harusnya dari awal kamu mendengarkan Mama, Zannah. Lihatlah sekarang, harus bagaimana lagi kamu?"

Zannah menunduk, "Mama ... maafin Zannah," lirihnya.

"Sungguh menjijikkan caramu membatalkan perjodohan yang sudah mama istikharah-kan sebulan ini, Zannah. Sekarang hubungilah pacarmu itu, atau kamu tidak akan pernah menikah. Siapa yang akan mau dengan perempuan kotor sepertimu? Laki-laki akan mencari perempuan baik-baik, Zannah. Mama kecewa."

Kalimat itu meninggalkan bekas membara di dada Zannah. Bagai seujung koran yang terbakar, lalu merambat ke mana-mana. Perih, tapi bisakah seseorang lari dari kenyataan? Oh, ini sungguh di luar dugaan.

Mia meninggalkan Putrinya, tak sanggup rasanya menatap anaknya yang bersimpuh di hadapannya, itu menariknya pada rasa bersalah yang teramat dalam. Dia bukan ibu yang berhasil dalam mendidik.

Dan Zannah, setelah kepergian Mia dia menatapi ponselnya sambil bersumpah serapah memaki tak jelas. "Bajingan lo Farel! Ke mana lo ngilang, lo tega ninggalin gue sendiri di situasi ini."

Flashback on

Usai sudah sholat istikharahnya. Lancip hidung milik perempuan itu menyatu dengan dua telapak tangannya, sebuah keputusan besar yang sudah ditimang-timang sejak sebulan lalu membulat sudah. Mia akan menerima lamaran dari anak temannya. Kedatangan Laras bersama suami sebulan lalu berkedok silaturahmi ternyata menenteng sebuah maksud suci, yakni untuk mempersunting putri Mia satu-satunya.

"Jikalau diperkenankan, kami berniat meminta izin untuk mempersunting Putrimu untuk putra kami terkasih, Muhammad El Fatih," kata Laras siang itu, di sela-sela basa-basi kerinduan antar sahabat.

Tersenyumlah Mia saat itu. "Mba Laras, kejadian yang menimpa suamiku 17 tahun yang lalu itu murni adalah kecelakaan, takdir Allah. Tidak usah merasa bersalah dan menghukum diri hanya karena yang meminta dia untuk terbang ke Makassar adalah Pak Hasbi, suami Mba. Saya sama sekali tidak menaruh rasa marah, Mba Laras." Begitulah penolakan halus yang Mia suguhkan. Sebab tidak ingin putrinya terjerat pernikahan yang sejatinya untuk membayar rasa bersalah dan untuk penebusan kematian suaminya sendiri.

Namun jawaban yang disuguh dua orang tua itu berhasil meyakinkan Mia. "Bukan demikian, Mba Mia," sanggah Laras. "Kami memang sedang mencari jodoh buat putra kami, Fatih. Dia sedikit lebih tua dari anakmu, tapi InsyaaAllah Fatih bisa membimbingnya."

"Tapi apakah Nak Fatih sudah setuju? Bukan apa-apa anakku ini masih berantakan, Mba, dia baru remaja kemarin sore yang sama sekali tidak belajar agama, sementara anak kalian adalah lulusan pondok pesantren."

"Biar kami yang mengurusnya, Mba."

Bayangan perbincangan siang itu berkelebat di pikiran Mia. Jarum jam sudah melewati pukul tiga subuh, rampung sudah istikharah Mia malam ini. Hatinya sudah mantap, akan menerima lamaran itu. Diabetes melitus yang mendekap di dirinya bisa merenggut nyawanya kapan saja, pun dia ingin melihat putri satu-satunya berakhir di tangan seorang pria yang baik.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang