26. Memilih Mati

1K 81 55
                                    

Tergopoh langka perempuan itu, darah semerah dress yang dikenakannya terus mengalir, menetes. Tiada lagi sebanding sakit yang dia rasakan dibanding puluhan sakit yang lain, entah sampai mana dia akan sanggup melanjutkan langkahnya.

Matahari sudah beranjak naik, waktu sudah beredar hampir tengah hari, sekitar pukul setengah dua belas siang. Sengatnya sang surya semakin menambah rasa ingin menyerah yang terlintas. "Aku harus berlari sejauh apa pun yang kubisa, atau para iblis itu bakal kembali menangkapku. Aku lebih memilih mati sekarang dibanding harus kembali bertemu dengan si bajingan itu."

Tatkala dia hendak menyeberang, sirene ambulans terdengar sayup-sayup, tak lama muncul ambulans melaju pesat, diiringi mobil hitam di belakangnya. Zannah menatap ambulans itu melesat di kecepatan rata-rata.

Andai Zannah tau, yang berada di dalam ambulans itu adalah jasad ibunya, dan pengendara mobil hitam di belakangnya adalah suaminya, Fatih. Namun Zannah sudah tak sempat memerhatikan, setelah ambulans itu berlalu, dia kembali melangkah gontai dengan perut besarnya yang semakin ngilu saja.

Di tengah napasnya yang tertatih, di mana langkanya saja masih berada di tengah-tengah jalanan, mobil putih tiba-tiba berhenti tepat di sampingnya. Salah seorang lantas turun dari sana dan dalam sekejap menggendong Zannah naik ke mobil. Perempuan itu sama sekali tak punya ruang untuk melawan atau sekadar berteriak, dirinya lebih dulu diangkut.

Di dalam mobil, duduk seorang Farel di sana dengan wajah yang memerah padam, Zannah kaget bukan main menatapnya. Apa ini artinya dia kembali masuk ke dunia gelap ini?

"Bertemu lagi, Sayang. Keputusanmu sungguh bodoh. Kamu pikir kami tidak akan menemukanmu lagi? Kamu malah lebih memperburuk takdirmu, Wanita Bodoh." Farel berdecih sinis tepat di telinga kanan Zannah. "Kamu mencoreng namaku di depan langganan VIP-ku, kamu harus membayar mahal atas ini." Tangan Farel menangkup wajah Zannah kasar lalu mencampakkannya di samping.

"Bunuh gue, ayo bunuh gue aja! Gue lebih baik mati sekarang!" Pikiran Zannah yang sudah teramat runyam itu mendorongnya untuk melakukan hal gila. Tangannya sigap meraih pembuka pintu mobil dan berniat lompat saja. Persetan jika dia dan janinnya harus celaka. Sebab menurutnya, adakah jalan yang lebih baik dari itu?

Namun rupanya Farel lebih dulu meraihnya. Sedetik saja Farel terlambat, tubuh Zannah sudah menciumi aspal panas. "Lo gila?" paniknya.

"Lo lebih gila, Bajingan!"

Mobil itu meluncur kencang setelahnya, "Membunuhmu? Buat apa? Ngerepotin, mending kamu jadi karyawanku saja, apa susahnya, sih, bego? Kerjamu enak, dibayar mahal."

"Ngomong ke orang gila ga ada gunanya!" Perempuan jentaka itu memalingkan wajahnya. Memuakkan menatap Farel lebih lama.

...

"Masuk." Tangan kekar lelaki itu mendorong Zanah kembali ke kamar, sebuah ruang yang begitu menyeramkan bagi Zannah, lebih horor dari kuburan. Setelah beberapa saat, Farel kembali dengan sebuah tali.

"Mau apa lo, hah?"

"Mau ngiket seorang pelacur bodoh." Dengan enteng dia menuju Zannah, membalikkan tubuh perempuan itu lalu mengikat tangan dan kakinya. "Beres. Ga usah mikir cara bodoh buat kabur lagi, atau gue bakal nyiksa lo lebih dari ini." Lepas mengatakan itu, ponselnya berdering.

Tangan kanannya mengangkat telepon itu, "Gue nyusul, Bro." Ponsel kembali dia masukkan dalam kantong, beralih menatap Zannah yang sudah benar-benar tak berdaya di atas ranjang dengan posisi tangan dan kaki terikat itu.

Kekar tangannya menangkup kasar wajah Zannah, menekannya kuat-kuat hingga monyong bibirnya. "Lo berani buat gue marah, Zannah. Dari kemarin aku berusaha untuk lebih baik, tapi lo malah kelewatan. Liat aja apa yang bisa gue lakuin ke lo!" bentak Farel melempar wajah Zannah hingga berpaling ke samping.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang