Seorang lelaki yang mengenakan kaos oblong putih berjalan menyusuri tangga satu per satu, sebagai kamar adalah tujuan. Namun di sela langkahnya itu, dia mendengar suara tak asing, suara yang setiap harinya berkata kasar pada dia. Bedanya, suara itu kini tertawa hangat, tawa yang sebelumnya sangat jarang didengar oleh Fatih.
"Apa Zannah sedang menelepon?" kata Fatih bertanya sendiri. "Tapi, dengan siapa tengah malam gini? Ketawa-ketawa lagi!" Dengan rasa penasaran, Fatih menghampiri sumber suara. Namun sayup-sayup dari punggung perempuan itu, suara yang terdengar dari balik telepon itu adalah suara bariton milik seorang pria.
Pikiran aneh mulai menjelajahi hati Fatih. "Siapa yang meneleponmu tengah malam begini, Zannah?" Fatih datang dari arah belakang Zannah, ketika dirinya sedang asik menelepon bersama mantan yang kini telah kembali menjadi kekasihnya, di balkon rumah. Zannah yang awalnya menerima telepon Farel malas-malasan, seketika harus pura-pura terlihat ceria, hanya agar Fatih melihatnya.
Tak dielakkan, rencananya berhasil. Fatih telah berdiri dengan wajah penuh pertanyaan, ketika mendapati Zannah sedang tersenyum lebar berbicara dengan suara laki-laki di seberang sana.
"Bukan urusan lo," jawab Zannah ketus lalu kembali membelakangi Fatih menghadap langit semesta yang indah dengan gemintang.
Fatih yang mendengar jawaban dari istrinya itu merasa aneh, lantas merebut ponsel itu dari tangan Zannah. "Aku suamimu!"
"Gak ada yang minta lo buat jadi suami gue!" Dengan kesal Zannah kembali meraih ponsel itu dari tangan Fatih, lalu melangkah pergi.
Fatih bergeming sesaat, "Apa ini alasan dari pertanyaan dia kemarin, tentang apa yang bisa membuatku membencinya?" Fatih berspekulasi dengan pikirannya sendiri. "Jika iya, kenapa Zannah begitu kekeh agar aku membencinya? Dia itu kenapa, sih?"
Ah, perasaan Fatih sungguh tak enak. Takut jika pikiran terburuknya terealisasikan, bahwa perempuan itu benar-benar nekat untuk selingkuh. Namun sungguh, Fatih sangat membenci apa pun yang berbau pengkhianatan, meskipun tak menutup bahwa dirinya juga berkhianat dari janjinya pada Ruqayyah.
Dengan itu, Fatih segera menyusul istrinya. "Zannah!" Perempuan yang sudah merebahkan tubuh di kasur empuk itu tak menghirakan, malah menutup matanya sengaja. "Zannah, bangun. Aku pingin bicara," lanjut Fatih dengan suara yang lebih melembut, agar perempuan itu bisa diajak berbicara.
"Pergi lo dari sini, ga perlu tau siapa yang nelpon gue!" Zannah berkata tanpa membuka matanya.
"Ga bisa, aku ga tenang kalau ga tau soal itu, Zannah. Apa kamu tahu? Aku cemburu denger kamu ketawa-ketawa begitu kepada selain aku, harusnya senyummu yang menawan itu cuma buat aku, bukan orang lain. Aku suamimu!" Fatih masih setia berdiri di samping ranjang, di mana posisi Zannah sudah membelakanginya.
"Diem, deh, sono keluar. Kuping gue udah panas denger 'aku suamimu, aku suamimu' muak tau, ga! Asal lo tau, gue ga pernah nganggep lo suami gue," balas Zannah, menarik selimut untuk menutup seluruh tubuhnya.
Namun Fatih menariknya, dan duduk di samping Zannah. Helaan napas terdengar semu, "Zannah, tolonglah. Kesabaran seseorang ga seluas rahmat Allah, aku hanya manusia biasa yang juga punya nafsu, aku punya ego. Aku bisa menghadapi sikapmu yang keras kepala, susah diatur, tapi tidak dengan hubungan dengan lelaki lain. Aku kurang yakin, aku bisa mengontrol sikap jika aku melihatmu bermesra dengan lelaki selain aku."
Zannah membisu, di meremas kuat ujung selimut menahan tangisnya yang ingin tumpah, berusaha membekukan sakit mendengar kalimat Fatih.
Maafkan aku, Mas Fatih. Kalimat yang kemudian terbesit dalam hatinya, di mana panggilan 'Mas' untuk yang pertama kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam untuk Zannah [END]
De Todo[PART LENGKAP - BELUM REVISI] "Siapa yang meneleponmu tengah malam begini, Zannah? "Bukan urusan lo." "Aku suamimu!" "Gak ada yang minta lo buat jadi suami gue!" --- Bagaimana jika ... menikahi perempuan yang telah dihamili lelaki lain? Pasalnya, Fa...