28. Zaujati

1.4K 90 43
                                    

Kata Rumi pada syair romantisnya, Allah tidak menciptakan sesuatu yang lebih kuat melebihi doa, Dia telah menciptakan doa lebih kuat melebihi takdir-Nya. Bukankah kalimat ini sungguh mengandung takrif yang begitu indahnya? Bahwa sekuat apa pun takdir meluluhlantakkan kehidupan seseorang, ada doa yang jauh lebih kuat dari itu.

Setelah hari Minggu yang panjang itu berlalu dengan segala keterpurukan yang nyata, kini Zannah kembali menemukan rumahnya. Rumah yang benar-benar rumah untuknya. Sebuah ruang di mana dia dicintai dengan hebat.

Dalam ketidaksadarannya yang sudah melampaui sehari penuh, Fatih dengan setia duduk di sampingnya, menatap mata indahnya yang entah kapan akan terbuka. Meski demikian, Fatih tau doa selalu lebih kuat. Dia memegang teguh prinsip itu.

Setiap saat, Fatih berdoa agar sekiranya Zannah bisa kembali pulih. Setelah hari di mana Fatih menemukannya dan membawanya ke rumah sakit, sampai sekarang Zannah masih tak sadarkan diri. Dan kabar terburuknya ... Zannah harus kehilangan janinnya, sebab pendarahan hebat yang terjadi dalam waktu yang lama tanpa adanya pertolongan.

Fatih, lelaki itu mengelus jemari Zannah yang masih diinfus itu. Matanya sebenarnya telah lelah, tidak ada tidur semalam suntuk, tapi sedetik saja dia tidak ingin meninggalkan Zannah di sana.

"Zannah, kenapa kamu sangat nyaman memejamkan matamu? Tidakkah kamu ingin kembali menatapku? Ayo, buka matamu," lirih Fatih. Jemari lentik Zannah yang sejak tadi dia genggam, kini dicium penuh kasih.

Setelah beberapa saat hanya bergeming, larut dalam pandangan penuh cinta pada perempuan itu, Fatih mulai melafalkan shalawat yang begitu mewakilkan isi hatinya untuk Zannah, dengan judul Zaujati.

"Uhibbuki mitsla maa anti uhibbuki kaifa maa kunti ....
Wa mahmaa kaana mahmaa shooro, antii habiibatii anti ....
Zaujati ... antii habiibatii anti ...."

Tanpa sadar, Fatih meneteskan air matanya menyanyikan itu. Terlebih, dia merasa begitu memadu dengan artinya.

"Aku mencintaimu apa pun dirimu, aku mencintaimu bagaimanapun keadaanmu.
Apa pun yang terjadi dan kapan pun, engkaulah cintaku.
Duhai istriku, engkaulah kekasihku."

"Zannah, artinya sungguh romantis, bukan? Itu adalah suara hatiku untukmu." Lelaki berkopiah itu berkata, sembari terus mengelus punggung tangan Zannah. "Apa kamu masih ingin mendengar kelanjutannya, Sayang?"

Fatih tersenyum di tengah pilunya. "Makanya ayo sadar, Zannah. Aku akan menyanyikan salawat tiap hari untukmu."

Fatih melanjutkan salawatnya kemudian.
"Tadhiiqu biyal hayaatu idzaa bihaa yauman tabarromti ....
Fa as'aa jaahidan hattaa uhaqqiqo maa tamannaiti ...."

"Jika suatu saat hidupmu menjadi sedih, maka aku akan berusaha keras. Sampai benar-benar mendapatkan apa yang engkau inginkan."

Di saat Fatih masih ingin melanjutkannya, tangan yang dia genggam tiba-tiba bergerak. Fatih menyudahi salawatnya dan beralih bertanya, "Zannah, ka-kamu ... kamu sudah sadar, Sayang?" Dia berdiri, menempelkan kedua tangannya di kedua sisi pipi Zannah, menatap wajahnya dari dekat.

Perlahan, bulu mata indahnya bergerak, lambat-laun terbuka. Fatih seketika tersenyum amat lebar, memeluk Zannah tulus. "Kamu sudah bangun, Istriku."

Zannah bergeming sesaat.
Apa ini mimpi?

Fatih, teramat bahagia lelaki itu. Dia pikir, dia tidak bisa lagi menatap mata itu. Namun kini, dia bahkan menatapnya dari jarak yang sangat dekat. "Mana yang saki, Sayang? Katakan." Fatih bertanya tanpa henti.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang