16. Pasar Malam

689 67 46
                                    

Setelah perbincangan rumit antara Zannah dan Ruqayyah pagi hari itu dengan ratusan buku yang menjadi saksi, Zannah benar-benar merealisasikan ucapannya. Dia sengaja semakin kurang ajar terhadap Fatih, agar lelaki itu membencinya dan berakhir menalaknya. Hari ini, sudah memasukin bulan kelima dari pernikahan mereka.

Sudah dua bulan lamanya dia berpura-pura atas hati dan perasaannya sendiri, dia menyiksa batinnya ketika harus dengan sengaja berkata kasar pada Fatih, dia harus menyiksa batinnya ketika harus melihat tampang Fatih yang masih setia bersabar dengannya meski dia sudah berkali-kali berkata yang tidak-tidak padanya.

Perut Zannah mulai membesar, itu membuatnya susah bergerak, bahkan jika hanya untuk berjalan saja. Pada petang yang baru beranjak malam ini, dia sedang duduk di samping jendela dengan secangkir teh panas yang menemaninya untuk menenangkan pikiran yang riuh. Sejauh ini pula, dia bukan hanya sekali masuk rumah sakit untuk menangani kehamilannya.

Perempuan itu, dia sedang hamil muda, tapi pikiran, batin, bahkan tubuhnya tidak cukup istirahat. Dirinya diam membisu, tertidur nyaman, tapi tidak dengan pikiran dan batinnya. Keduanya memiliki masalah yang tak ringan. Perempuan itu lalu menunduk sambil menghela napas. "Fatih ... kok lo bisa sebaik itu? Gue udah sering maki-maki lo, ga mau denger perkataan lo, tapi bisa-bisanya lo masih sabar dan ga bisa marah ke gue? Kalo gini mulu yang ada gue yang makin jatuh cinta sama lo!"

"Zannah, ayo makan dulu. Aku udah buatin salad sayur di bawah, tuh." Fatih tiba-tiba datang, membuka pintu kamar. Menampilkan senyum terbaiknya untuk sang Istri.

"Ga mau makan gue, suntuk lama-lama makan sayur mulu. Lo aja yang makan," gerutu Zannah, tak berminat berbalik menatap Fatih di ambang pintu.

"Jangan gitu dong, ya? Kasian bayi dalam perut kamu, dokter bilang kan kamu harus mengonsumsi makanan tinggi serat," bujuk Fatih melangkah lebih dekat. Setelah berdiri tepat di samping Zannah, tangannya terulur mengusap pelan pucuk kepala Zannah. "Aku menyayangimu, dan semua yang ada padamu, termasuk bayi itu."

Namun Zannah menepikan jemari Fatih dari kepalanya, "Apa, sih, ah. Ga usah pegang-pegang."

"Bumil ga boleh marah-marah terus. Mau aku ajak jalan-jalan ke pasar malam, gak?"

Matanya berbinar seketika. "Ayo! Gue siap-siap sekarang."

"Harus makan dulu tapi!"

"Idih, kebiasaan. Kalo ngajak ada tapi-tapinya!" cibir Zannah kemudian, melangkah gontai menuju dapur.

...

Di sini sekarang kaki mereka berpijak, melebur berapa banyaknya orang, riuh antara penjual dan pembeli, riang bersama tawa anak-anak yang ditenteng oleh orang tuanya, ramai bersama wahana yang seru. Tiada berhenti mata perempuan itu terbelalak, dia berlagak seperti anak-anak. Sempat ingin berlari-lari, tapi lebih dulu ditahan oleh cekalan suaminya. "Eh, ga boleh lari-lari," paparnya mengingatkan.

Zannah cengingiran tak jelas, "Aku mau makan itu!" Lantas menarik tergesa tangan Fatih. Berselang beberapa detik, mereka berdiri di depan penjual gulali yang menggiurkan. "Mau ini, ya?"

"Zannah, ini terlalu manis." Fatih menggeleng.

Namun si Keras Kepala itu malah merajuk membelakanginya. "Lo nyebelin!"

"Ya sudah, tapi satu saja, oke?"

"Nah gitu, dong!" Dia berbalik kemudian dengan senyum semringah. "Mamang, aku beli satu, ya!"

Fatih mengekori ke mana pun perempuan itu pergi, entah sudah berapa kali dia merengek untuk membeli berbagai macam jajanan. Lalu sekarang, dia berdiri di depan penjual boneka. "Bonekanya lucu, ya?" kata dia sambil tersenyum simpul menatap deretan boneka yang tersusun rapi.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang