9. Dia Hilang!

858 99 38
                                    

Hari ini, takdir sudah menoreh tak sedikit pilu, pun lengkap dengan segudang tawa yang patut disyukuri. Hari ini pula, ketika mentari kembali berlapang dada mempersembahkan hangat cahayanya, ketika sisa hujan telah menjelma dalam embun bening, tepat hari ini juga pernikahan yang dimulai dari keterpaksaan itu sudah menyentuh usia sebulan, Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama, tentang Zannah yang belum bisa bersikap baik dengan Fatih, dan Fatih yang terus berusaha mencintai Zannah meskipun di hatinya masih tertera nama Ruqayyah.

Hati mereka masih sama bekunya, sama-sama belum terpikat meski sudah diikat pernikahan. Bedanya, Fatih berusaha, tapi Zannah membiarkan dirinya tenggelam tanpa berusaha berenang ke tepian yang nyata. Dia terus bermain dengan imajinasinya, membayangkan sosok Farel tiba-tiba datang. Bukan karena apa, Zannah selalu ingin menyatukan sang Anak dengan ayah kandung. Dia tidak ingin anaknya hanya mengenal Fatih sebagai ayahnya, padahal dia adalah benih lain.

Dan perihal Ruqayyah, dia sama sekali belum mengetahui tentang pernikahan ini. Fatih masih membiarkannya menjadi rahasia yang entah kapan akan terungkap dengan sendirinya. Tanpa Fatih sadari, dengan begini dia justru semakin memperdalam luka yang akan diterima Ruaqayyah. Namun namanya manusia, semua punya ego demi menyenangkan angan yang sejatinya telah melebur bersama mimpi yang tak akan menjadi realita.

Sudah pukul dua belas dini hari, tapi lelaki itu masih setia menatap cahaya rembulan dari jendela. Matanya tiada sayup oleh kantuk, meski rasanya semilir angin begitu memanjakan kulitnya. "Ya Allah, sampa kapan Hamba harus bersabar dalam menanti hidayah yang Engkau titipkan pada istriku? Rasa ingin mulai menyerah sudah perlahan datang, bingung bagaimana lagi menghadapi perilakunya yang semakin menjadi-jadi," lirihnya disertai embusan napas.

Netranya tiada berpaling dari bintang-bintang yang bertebaran di langit malam, tetapi pikirannya terus saja dihantui oleh Zannah. Perempuan yang selalu menolak ketika disuruh mengenakan jilbab, perempuan yang selalu kesal ketika dipaksa sholat, dan perempuan yang belum pernah mengucapkan kata-kata manis dan lembut di depan suaminya.

Memikirkan itu semua, Fatih jadi penasaran dengan Zannah. "Apa dia sudah tertidur? Dia kan sedang hamil, dia tidak boleh begadang," desisnya berkata pada diri sendiri.

Lelaki yang hanya mengenakan kaos polos putih itu lalu memilih untuk mengecek ke kamar sebelah saja. Ketika sampai di depan kamar, Fatih mencoba membukanya tapi ternyata terkunci. "Kenapa dia mengunci kamarnya? Biasanya juga engga." Fatih merasa aneh. Sebab dari awal Fatih tidak mengizinkannya untuk menguncinya agar mudah untuk dibangunkan salat subuh.

Dengan rasa penasaran yang masih menguasai, dia kembali ke kamar mengambil kunci serep dan kembali lagi di depan kamar Zannah. Tak membutuhkan waktu lama, kamar itu terbuka. Namun dahi Fatih mengerut mendapati tidak ada siapa-siapa di dalam sana, penghuninya tidak terlihat.

"Ke mana perempuan itu tengah malam begini?" Rasa khawatir lalu menjelma tiba-tiba, Fatih berlari menyusuri tiap ruangan di rumahnya, tapi tetap tidak melihat keberadaan sang Istri. "Ada-ada saja tuh cewek, jam segini masa ga ada di rumah? Ke mana dia?" Raut wajah Fatih semakin dikuasi cemas.

"Apa dia kabur dari rumah?" Fatih lalu memikir yang tidak-tidak, sebab hubungan di antara mereka memang selalu tidak baik, hanya ada pertengkaran dan perdebatan saja. "Aku akuin, Zannah memang selalu nekat." Tanpa berpikir panjang lagi, Fatih buru-buru mengambil jaket, dan mengendarai mobilnya entah menuju ke mana.

Dalam perjalanan, remang rembulan di atas sama seakan menjadi petunjuk yang menerangi. Kegundahannya kian menjadi, dia tidak bisa berpikir lebih tenang lagi. Hingga akhirnya terbayang satu nama yang dianggapnya bisa membantu. "Adira. Ya, aku harus bicara dengannya. Kali saja Zannah ada di sana."

Dengan kecepatan ekstra, dia mengemudi mobilnya di gelapnya malam meski masih disibukkan oleh banyak kendaraan. Dia terus memacunya hingga beberapa menit sampai di depan kos-an Adira. "Assalamualaikum, Adira!" Sejenak masih lengang, tidak ada sahutan.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang