27. Terima Kasih Untukmu

1.1K 79 70
                                    

Katanya, tiap pertemuan selalu bersanding dengan perpisahan. Tiap senyum selalu diselingi dengan keterpurukan. Dan tiap luka, akan ada sembuh setelahnya. Semua hanya perihal waktu, tentang kapan apa yang didamba menampakkan diri.

Di sinilah kesalahan Zannah. Dia terlalu cepat menilai takdir, terlalu terburu-buru menilai apa yang ditakdirkan dalam hidupnya. Perlu diketahui, barangkali sesuatu itu pergi darimu, karena ingin diganti yang lebih baik. Ia hilang, sebab yang baik segera datang.

Setelah semuanya, rasa menyesal itu akan merayap, membunuh pemilik jiwa oleh rasa yang terlambat disadari. Namun sayangnya, sederas apa pun tangisan itu, yang berlalu telah remuk bersama asa, sudah terbawa arus bersama waktu. Terlalu jauh. Lipur dengan ratapan.

Lebam, darah, semuanya sudah komplit. Lebam di pipi kiri kanan, pucuk kepala yang masih dikelilingi darah, pendarahan pada kandungannya pun kembali menetes. "Aku ingin menyerah saja rasanya." Bibir mungil itu bergetar, dia sudah tidak tahan dengan semuanya.

Entah sudah berapa lama dia berjalan, menyusuri sengatan surya yang tajam. Menenteng luka pada fisik, terlebih batinnya. Seingatnya, dia melangkahkan kaki pada jalanan menuju rumah mamanya. Dia juga tidak tahu kenapa, dia menuruti saja ke mana ujung kaki itu membawanya.

Setelah perjuangan panjang untuk keluar dari kamar itu, akhirnya takdir masih membersamainya. Kini sekarang Zannah telah terluntang-lantung seorang diri, dengan dress merah glamor yang masih melekat dalam tubuhnya.

Sudah beberapa jam perempuan itu berjalan, untuk meminta orang lain menelepon suaminya saja sudah tak bisa terpikirkan lagi. Dia hanya terus melangkah, menjauh dari jangkauan Farel sebisanya. Zannah yakin, Farel sudah menyadari kepergiannya dan segera mengerahkan anggotanya untuk mencari keberadaannya.

Dia meninggalkan rumah itu siang hari, dan saat ini, senja sebentar lagi akan mengunjungi bumi. "Ya Allah ... selamatkan hamba, beri hamba sekali lagi kesempatan. Tiada pertolongan selain datang dari-Mu." Dia melirih pilu, dengan rambut yang awut-awutan, mata sayu lengkap dengan luka, dan langkah yang gontai dengan tangan menahan perut besarnya.

"A-aku ... tak kuat lagi." Darah semakin deras saja menjelajahi jenjang kakinya. Kenapa juga, sore hari ini sedikit sepi, atau mungkin orang-orang yang berlalu lalang itu terlalu sibuk dengan gadget-nya hingga tak memperhatikan Zannah yang sekarang lebih mirip orang gila.

Remang-remang, penglihatannya mulai memburam. Dia memandang ke depan dengan pandangan yang berputar. "Siapa pun, tolong." Sedikit lagi, tubuh itu akan meluruh.

Hingga seseorang datang menimang tubuhnya sebelum benar-benar terjatuh. Lelaki berkemeja hitam itu tersenyum menatapnya. Sayup-sayup, Zannah masih melihat sosok lelaki itu. Lantas melirih dengan kekuatan yang masih dia paksa tetap bertahan, "Farel."

Ya, yang datang adalah Farel. Yang menemukannya kembali ada lelaki tak berperasaan itu lagi. Menyerah? Mungkin kali ini Zananh memilihnya. Sebab semua kekuatan telah dikuras habis. Dia marah, padahal perjuangannya untuk kabur sejauh ini ga main-main. Namun kenapa tetap saja dia tidak dibiarkan terbebas? Semuanya berkecamuk dalam hatinya.

"Aku kembali menemukanmu, Pelacur! Sudah aku bilang kamu tidak bisa terlepas dariku, mau kamu kabur sejauh apa pun. Sebab posisimu selalu terdeteksi di HP-ku, kamu tak sadar di balik seksinya dress ini aku menempelkan GPS pada punggung bajumu? Ah, kamu memang bodoh."

Suara tertawa puas menelisik dari balik daun telinga Zannah. Sederet kalimat lalu berusaha diucapkan oleh perempuan berwajah lesu itu, "Baru kali ini aku melihat yang lebih menyeramkan dari iblis. Lo, bukan manusia." Perlahan matanya mulai terpejam kemudian.

Sedikit demi sedikit. Namu tiba-tiba, ketika dia kembali diseret ke mobil, Zannah mendengar suara yang tak asing. "Lepasin dia!" Nyaring suara itu.

Suara yang berasal entah dari mana, tapi Zannah begitu mengenalinya. Itu ... suara Fatih. Namun entahlah, apa benar dia mendengar suara itu, atau hanya sekadar halusinasi. Matanya kini telah terpejam sempurna, memutus akses pikirannya dari dunia gila ini. Zannah dibawa pergi oleh ketidaksadaran.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang