17. Awal Keretakan

829 80 69
                                    

Laksana kanvas yang siap dilukis, ialah kehidupan seseorang. Yang semulanya kosong bersih, perlahan diisi setitik tinta bernamakan takdir. Jika goresan itu telah berlalu, tidak ada yang bisa menjadi penghapusnya. Seseorang itu hanya bisa belajar dari kesalahan, lalu mempraktikkannya di halaman selanjutnya.

Panjang rambutnya yang masih kekuningan itu, disisir halus. Sudah tiga hari berlalu setelah pertemuannya dengan Farel, tapi rasanya masih sama. Perempuan itu masih diselimuti ketakutan, tiada terlepas bayang lelaki beringas itu. Sudah tiga hari pula, Zannah benar-benar kehilangan nafsu makannya. Bahkan untuk diajak berbicara pun susah. Meski puluhan rayuan dari Fatih agar Zannah mau makan pun, tak diindahkan olehnya.

Sama halnya dengan sekarang. Ketika sang Istri duduk termenung, melamun, di depan cermin, lagi-lagi Fatih datang dari arah belakangnya, dengan membawa nampan berisi sup kesukaan Zannah dan air minum. "Zannah, paling tidak kamu makan untuk bayimu, kasian dia kalau kamu ga makan-makan." Suara Fatih terdengar amat lembut menelisik telinga Zannah.

Zannah menatap Fatih dari pantulan cermin. Indah wajahnya, alis yang tebal, tahi lalat di atas bibirnya, bahkan rambutnya yang acak itu, Zannah jatuh cinta dengan semua yang ada pada diri Fatih. Terutama pada masakannya tentu saja. Hatinya ingin menarik pemiliknya untuk datang pada Fatih dengan sebuah pelukan, tapi egonya mengatakan 'jangan'. Lalu karena keras kepalanya yang dominan itu, Zannah menuruti egonya.

"Kenapa lo masih peduli sama gue? Ngapain juga lo peduli sama bayi ini? Dia bukan anak lo kalo lo lupa. Lagian lo jadi orang kenapa baik banget? Harusnya dari dulu lo udah nyerah hadepin gue yang keras kepala ini, gue yang ga bisa diatur, gue yang bahkan ga pernah menuhin permintaan lo buat nutup aurat? Harusnya lo benci gue, bukannya makin perhatian!" Zannah meracau sendiri, hingga rambut yang semula disisirnya itu kembali awut-awutan.

Fatih yang masih bergeming di sana, berkata kemudian. "Kenapa kamu masih mempertanyakan itu, Zannah? Jawabannya hanya satu, karena aku ikhlas mencintaimu. Aku sudah berjanji pada diriku untuk lebih sabar dalam membimbingmu, dan aku percaya suatu saat nanti Allah akan turunkan hidayah padamu."

"Jadi, apa lo ga bisa benci sama gue?"

"Cinta yang kupersembahkan untukmu bukan lagi cinta monyet, Zannah, jauh lebih dari itu. Cinta dengan segudang ketulusan dari seorang suami untuk istrinya." Fatih berujar sembari tersenyum hangat, teduh pandangannya mampu menenangkan hati Zannah.

Namun perempuan itu, dia kembali berbohong. Membohongi Fatih, juga membohongi diri dan hatinya sendiri. "Tapi sampai kapan pun, gue ga akan bisa cinta sama lo. Hati gue udah terlanjur trauma oleh cinta, ia udah menghitam tertelan luka, ga ada lagi celah untuk ia bisa kembali terbuai. Jadi stop berharap gue bakal ngasih feedback ke perasaan lo, lebih baik ceraiin gue, dan kejar orang yang lebih cinta ke lo. Dialah Ruqayyah."

"Kamu pasti lapar makanya banyak mengoceh kayak gitu, makan saja dulu, tidak perlu memikirkan itu semua," imbuh Fatih melengserkan topik Zannah. Andai terlihat, telinga Fatih sudah penuh oleh kalimat yang sama, kalimat Zannah yang memintanya untuk menalak dirinya. Namun Fatih memang tak pernah menanggapi jika Zannah sudah membahas perihal cerai, karena Fatih tahu jikalau suami yang sudah mengatakan talak, bahkan dalam keadaan tidak sengaja sekali pun, itu tetap dihitung berlaku.

Fatih tidak ingin bermain-main dengan kata talak itu, baginya pernikahan cuma sekali seumur hidup. Dia tidak ingin ada pernikahan kedua, ketiga, dan selebihnya. Untuknya, pernikahannya adalah Zannah.

"Kali ini gue bener-bener serius. Apa yang bisa buat lo benci seseorang, bahkan jika lo mencintai seseorang itu?"

"Bagiku, semua akan kutoleransi, kecuali pengkhianatan. Kamu mau bersikap seburuk apa pun, aku akan menemanimu berproses, selama apa pun itu. Namun jika sudah tentang selingkuh, maaf, aku tidak menerimanya. Dari sekian banyak ujian rumah tangga, aku tidak bisa menadah hal itu."

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang