14. Tidur Bersama

951 80 50
                                    

Gulita telah memeluk semesta, berkolaborasi dengan indahnya bintang yang berarak. Entah mengapa, bumi seakan dikepung dingin malam ini, hingga ujung tirai pun tertiup angin dari sela-sela jendela. Seorang lelaki sedang meringkuk di balik selimut, berusaha memejamkan matanya sedari tadi, tapi belum kunjung bisa tertidur. "Oh, kenapa malam ini sangat susah untuk tertidur?" Dia bergumam kecil.

"Ah, Zannah sudah tidur belum, ya?" Di tengan peliknya mata yang tiada ingin terlelap, lelaki itu justru memikirkan Istri keras kepalanya. Sepulang dari rumah sakit tadi dia meminta Zannah untuk tidur dengannya saja malam ini, tapi perempuan itu menolaknya mentah-mentah.

"Tapi kalo dipikir-pikir, Zannah semakin menjadi-jadi sikapnya setelah tahu bagaimana aku dan Ruqayyah. Apa dia marah?" Tengah malam menjelang tidur, bukankah memang waktu yang sangat sering ditempati untuk overthinking? Demikianlah Fatih, dia berargumen dengan tanggapannya sendiri.

Dia mengembuskan napasnya pelan, lantas kembali mencari posisi yang nyaman agat bisa tertidur. Sekali lagi dia mencoba memejamkan matanya di balik selimut tebal. Namun tiba-tiba, "Aaaaa!" Mata Fatih seketika terbelalak.

"Zannah?" panik Fatih. Dia buru-buru melangkah keluar setelah mendengar teriakan Zannah yang bersamaan dengan bunyi sesuatu yang pecah. "Perempuan itu, kenapa sangat keras kepala ya Allah? Aku sudah mengajaknya untuk tidur saja di sini, biar kalau dia perlu apa-apa enak." Fatih menggerutu sendiri jadinya, sampai dirinya kini berdiri di depan pintu kamar Zannah.

"Zannah!" Dia mengetuk pintu dengan tergesa.

"Masuk aja, pintunya ga dikunci!"

Mendengar itu, Fatih lantas membukanya saja langsung. Di dalam sana pecahan kaca berserakan di samping ranjang, sementara Zannah berdiri tepat di sampingnya. Dia menatap suaminya nanar, "Ga sengaja kesenggol. Gue mau ke pipis, tapi karena kesusahan buat bangun, gelasnya kesenggol terus jatuh, deh," cicit Zannah menatap bongkahan gelas yang bersepah di sekitarnya.

Fatih menepuk jidatnya sambil menggeleng-geleng. "Makanya jadi Istri, tuh, jangan keras kepala. Nurut sama kata suami, tadi aku udah bilang kamu tidur di kamarku saja dulu, biar kalau mau apa-apa senang minta tolong ke aku. Kalau kayak gini gimana? Untung kamu ga kenapa-kenapa," decit Fatih, seperti seorang Ibu yang menasihati anaknya.

Namun si Ibu Hamil itu malah menunduk, tak lama setelahnya terdengar isakan tangis kecil. Fatih terkesiap, "Apa kamu menangis?" Dia lantas maju lebih dekat untuk memastikan. "Beneran nangis lagi." Fatih jadi menggaruk kepalanya bingung.

"Apa orang hamil memang sesensitif ini, ya? Aku perasaan-"

"Diem. Mending sekarang lo keluar dari sini, gue bisa lakuin sendiri. Lagian lo bukannya bantuin malah ngomelin, nyesel gue teriak!" Perempuan itu balik marah pada Fatih. Sangat labil emosinya memang.

Fatih semakin binging dibuatnya. "Maafin aku, bukan gitu maksudnya ...."

"Alah bacot lo, sono keluar!" Setelah mengatakan itu, Zannah jongkok berniat memungut puing pecahan itu.

"Eh, mau ngapain?"

"Mau gue makan nih pecahan gelas, biar mati sekalian!" balas Zannah kesal.

Tanpa menjawab lagi, Fatih berjalan mendekat, lalu meraih Zannah dalam gendongannya. Secara spontan Zannah mengalungkan tangannya pada leher lelaki itu, ketika tangan Fatih masuk di balik ceruk leher dan di bawah lutut Zannah. Pekikan terdengar tiba-tiba dari Zannah, "Eh! Lo apa-apaan, sih. Turunin, gak?"

"Engga mau. Pokoknya malam ini kamu harus tidur bareng aku," tangkas Fatih terus berjalan meski sang Istri sudah berontak sejak tadi.

"Ga mau! Gue ga mau tidur bareng ustad mesum kaya lo, nanti kalo lo ngapa-ngapain gue giamna coba?" Fatih hanya bisa menikmati suara cempreng istrinya tepat di dekat gendang telinganya.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang