19. Rumah Sakit

804 78 42
                                    

"Assalamualaikum, Fatih. Kamu di mana?" Suara parau terdengar dari balik telepon.

Lelaki yang masih duduk di depan layar komputer itu terlihat bingung. Dia tidak sedang bermain game, tetapi sedang memburu universitas mana yang akan ditembak untuk mengambil S2-nya. Beberapa hari yang lalu, dia mengajukan diri pada Hasbi, ayahnya untuk bekerja di perusahaan. Namun Hasbi menolaknya, mengatakan bahwa lebih baik dia melanjutkan study-nya saja lebih dahulu.

"Waalaikumussalaam, Bapak. Ada apa, ya? Tumben nelpon," jawab Fatih kemudian.

"Zannah belum pulang dari sekolah? Bapak dari tadi menghubungi dia, tapi tidak bisa tersambung. Ini Mia, mamanya sedang di rumah sakit sekarang. Kalian buruan ke sini, ya." Setelah informasi itu diterima oleh Fatih, sambungannya terputus.

"Mama Mia masuk rumah sakit? Kok tiba-tiba banget, ya? Apa mungkin dia memang mengidap penyakit serius?" Fatih bertanya sendiri, sebelum akhirnya bergegas untuk menjemput Zannah dan segera ke rumah sakit. Lagi pula, sekarang memang sudah waktu pulang Zannah.

Tak menunggu lama, dia tiba dengan cepat di depan gerbang sekolahnya. Penampakan yang memenuhi pandangan adalah puluhan siswa berseragam Pramuka menenteng ransel di pundaknya. "Aku tidak pernah memikirkan akan menikahi gadis SMA. Siapa sangka, ternyata takdir yang dikasih Allah begini. Lucu, ya? Takdir kadang menjadi bom waktu yang tak disangka, menjelma laksana kado misterius dari Tuhan," gumam Fatih menatap satu per satu siswa itu, menunggu kedatangan istrinya.

Di saat dia sedang asing bermonolog dalam posisi menyandar ke mobil, seseorang yang menggunakan motor sport datang dari arah belakang, dan berhenti tepat di samping mobilnya. Fatih tersenyum menyapanya, lelaki itu pun hanya ikut tersenyim simpul. Tidak ada kata lagi di antara mereka, sampai yang ditunggu-tunggu telah melangkahkan kakinya dari arah gerbang.

Dua orang lelaki itu sontak berteriak bersamaan, "Zannah!"

Fatih berbalik menatap aneh lelaki itu. "kenapa dia meneriaki istriku?" batinnya heran. Begitu pula lelaki di sampingnya yang tak lain adalah Farel, dia menatap Fatih pelik. Fatih lantas memilih bertanya, "Kamu siapa? Kenapa meneriaki istriku?"

Dalam beberapa waktu Farel tercengang. "Istri? Oh, jadi Anda suaminya pacar saya?" Farel berkata angkuh, lalu turun dari motornya dengan memangku tangan. "Kenalin, saya Farel. Pacarnya Zannah, sekaligus ayah kandung dari janinnya."

Di depan sana, Zannah menepuk jidatnya jengah, ketika melihat dua lelaki di sana berbincang serius. "Mampus, entah siapa yang bakal mati nanti, kenapa juga mereka ketemu, huh!" Terdengar helaan napas berat dari perempuan itu.

Telinga Fatih memanas mendengar kalimat itu keluar dari lelaki berkemeja polos hitam, memadu dengan celana pendek di depannya itu. Tampilannya memang keren, tapi ... dia bersikap begitu murahan.

Satu kening Fatih terangkat kemudian, seolah tak gentar menantang Farel. "Apa kamu tidak malu mengakuinya sebagai pacar di depan suami sahnya? Oh, atau mungkin kamu memang tidak punya urat malu? Atau lebih parahnya lagi ... otakmu berada di dengkul, ya, makanya tidak bisa mikir?" Meski lantunan suaranya sepelan mungkin, itu semakin memainkam rima emosi di dada Farel.

Ujung salah satu bibirnya terangkat, menampilkan senyum seringainya. "Apa kamu sedang memerinci dirimu sendiri? Kok, kamu bisa setolol itu menikahi perempuan bekasku? Bagaimana rasanya, enak, bukan?" bisik Farel mencondongkan kepalanya lebih dekat.

Hati Fatih tentu saja memanas, seakan diaduk tanpa henti. Marwah istrinya sedang dijadikan candaan di sini. Meski demikian, Fatih tetap berusaha tenang menanggapinya. Orang seperti Farel, dia justru akan merasa menang jika berhasil memancing emosi lawannya terlebih dahulu.

Fatih lalu memilih tersenyum lebar. "Kamu tidak salah mengataiku seperti itu? Yah, meski aku tolol seperti katamu tadi, setidaknya aku tidak seperti banci yang pecundang. Berani berbuat, pas ditagih tanggungjawab malah ngilang. Eh tiba-tiba, ini balik lagi ingin mengambilnya kembali. Jadi ... siapa yang lebih tolol, hm?" Dua bahu Fatih terangkat.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang