Suasana mencekam, lelaki itu terus saja melajukan mobilnya meski tak punya tujuan yang jelas, ke mana saja, otaknya sudah buntu berpikir. Rasa sesal memenuhi relung hatinya. Mungkin tidak ada yang bisa disalahkan atas semua ini selain dirinya, andai dia tak menuruti kemarahannya, andai kata talak itu tak pernah terucap, dan andai dia menahan Zannah untuk keluar malam itu, semua ini tidak akan terjadi.
Pikiran berandai-andai terbesit, tapi yang namanya takdir akan selalu memiliki jalan untuk terjadi, sekuat apa pun seseorang menahannya.
Matahari yang semakin menyengat, sudah hampir sejam Fatih hanya terus melaju tanpa arah. Wajahnya pun kian gusar, matanya berkaca-kaca membendung ketakutan luar biasa. Banyak pikiran buruk yang kemudian menghinggapinya, semua hanya tentang Zannah.
"Ke mana aku harus mencarimu, Zannah? Kamu pasti sangat ketakutan sekarang." Helaan napas terdengar lirih, "maafkan aku yang tidak becus menjadi suamimu, Sayang. Aku harap temu masih berpihak pada kita." Ujung bibirnya dia gigit, guna menetralisir gugupnya hati yang tak karuan.
Di tengah kecemasannya, terpikir tiba-tiba nama sahabat Zannah, Adira. "Oiya, Adira. Mungkin dia tahu sesuatu tentang mantan kekasihnya Zannah itu. Aku harus menemuinya, tapi ... ini hari Minggu, semoga saja dia ada di rumahnya." Bermonolog dengan diri sendiri lantas jadi kebiasaan mendadak Fatih.
"Samperin sajalah dulu !" Setidaknya untuk sekarang, Fatih sudah memiliki tujuan yang cukup siginifikan, dibanding hanya terus putar-putar saja.
Ban mobil semakin melaju, saling berkejaran di antara jarak. Namun mendadak, ponselnya berdering nyaring. Segera Fatih raih, di sana tertera nama Hasbi, ayahnya. "Halo, Bapak?"
"Fatih, di mana kamu, Nak? Tolong ke rumah sakit lagi sekarang, datang bersama Zannah." Suaranya yang panik terdengar dari balik telepon.
Fatih yang memang sudah kalang kabut, semakin kebingungan. "Rumah sakit lagi? Mama Mia?"
"Dia di ruang ICU, Nak. Pengasuhnya di rumah menelepon Bapak barusan, tiba-tiba saja katanya dia sesak napas, langsung dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya parah, beritahu Zannah, nomornya sama sekali tidak aktif." Hasbi berkata panjang lebar.
Kini Fatih tak tahu harus berkata apa, bagaimana dia harus menjelaskan terkait masalah Zannah? Para orang tua itu tak tahu menahu. Lalu dengan Mia? Fatih semakin bingung akan bertemu dia, apa yang akan menjadi jawaban jika dia menanyakan putri satu-satunya itu?
"Fatih, kamu masih di sana?"
Lamunannya buyar kemudian. "Iya, Pak. Fatih segera ke sana." Dengan berat hati, Fatih harus memutar balik tujuannya. Dia akan menemui mertuanya dahulu.
Tak menunggu lama, dia tiba di rumah sakit. Langkahnya dibuat cepat berkejaran, di depan pintu ruangan ICU itu Hasbi berdiri dengan seorang wanita pengasuh Mia bersamanya, wajah mereka tidak ada yang baik-baik saja. Sementara dokter belum keluar mengatakan apa-apa.
"Assalamualaikum, Bapak," sapa Fatih menyalaminya.
"Waalaikumussalaam, Nak. Kenapa kamu datang sendiri? Ke mana istrimu? Ini mamanya lagi parah, loh."
"Bapak ...," jawab Fatih gagap, dari mana dia akan memulainya, kalimat apa yang bisa dia gunakan untuk memerinci kabar hilangnya Zannah? Ah, Fatih membenci situasi ini. Di mana dia seakan dipandang sebagai suami yang buruk. "Za-Zannah ... dia ...."
Mengerut dahi Habsi. "Kenapa? Rumah tangga kalian ada masalah?"
"Huh, Zannah hilang, Pak."
Hasbi terperanjat mendengar menantunya itu hilang. "Apa? Jangan bercanda, Fatih. Bagaimana bisa? Kamu tidak menjaga istrimu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam untuk Zannah [END]
Random[PART LENGKAP - BELUM REVISI] "Siapa yang meneleponmu tengah malam begini, Zannah? "Bukan urusan lo." "Aku suamimu!" "Gak ada yang minta lo buat jadi suami gue!" --- Bagaimana jika ... menikahi perempuan yang telah dihamili lelaki lain? Pasalnya, Fa...