15. Perbincangan Pagi

780 73 25
                                    

Tidak ada yang bisa mengekang waktu, sebab waktu itu tak ubahnya takdir yang terus berjalan, bahkan jika kamu berkata berhenti seratus ribu kali pun, waktu tetap akan berjalan pada ketentuannya. Sebab itu pulalah, banyak yang mendefinisikan waktu dengan berbagai hal. Ada yang mengatakan waktu itu adalah emas. Namun bagi perempuan yang tengah bersiap-siap ke sekolah itu, waktu adalah pelajaran.

Pelajaran tentang apa yang harus diperbaiki, bukan untuk disesali. Dia menatap pantulan dirinya dari cermin, "Dulu gue kalo natap diri gue di balik cermin kaya gini, gue merasa selayaknya putri kerajaan yang cantik dan berharga. Namun sekarang, gue udah jijik liatnya. Gue yang udah kotor, dan gue yang udah ngehancurin kebahagiaan perempuan lain," katanya tersenyum miris.

Hawa panas memenehi relungnya. "Oke, jangan nangis lagi, Zannah. Lo harus kuat, jangan lemah. Lo harus bisa balikin semua pada tempatnya, Fatih pada Ruqayyah, dan lo yang entah akan melangkah ke mana setelah ini. Lo harus lebih kuat dari cinta lo ke Fatih, jangan rapuh dan terbuai. Pokoknya nanti lo harus bicara sama Bu Ruqayyah," tekad Zannah bermonolog dengan dirinya sendiri.

"Kamu sudah yakin mau naik sekolah hari ini?" Fatih datang dari dalam toilet, dengan rambut yang masih dihanduki.

"Hooh."

"Jawab yang baik."

"Iya, Ustad!" Zannah melirik Fatih tajam dari arah pantulan cermin, lelaki tergelak melihatnya. "Udah buru siap-siap, lo kalo lama gue berangkat sendiri aja entar, ya!"

"Eh, jangan. Ini aku bentar aja, kok, lagian harusnya kamu masih perlu istirahat, tau."

"Aduh, nih, ya. Gue udah di rumah selama dua Minggu, gue mau ujian kelulusan kalo lo lupa, nanti gue ga bisa jawab gimana? Ga usah banyak bacot, deh, gue tunggu di bawah." Perempuan itu lantas melenggang pergi.

Sejenak, Fatih menghela napas. "Huh, punya bini judes banget, ya Allah," lirihnya menggeleng.

...

"Jangan banyak gerak, ya. Minumnya air putih aja, sama ga usah jajan yang aneh-aneh, ini udah aku buatin bekel yang sehat. Jangan sering keluyuran juga, diem-diem aja di kelas. Terus nanti -"

"Hust! Udah. Huh, bawel banget punya suami!" Ketika hendak berbalik dan melangkah, Zannah melihat keberadaan Ruqayyah di sana. Melirik sebentar ke arahnya, lalu memilih masuk lebih dulu. Menatap itu, hati Fatih cukup dibuat bergetar kembali, sebab sosok Ruqayyah memang belum benar-benar berdamai dengan dirinya.

Zannah pun bisa melihat bagaimana Fatih menatap Ruqayyah, masih ada jejak puing harapan di sana. Zannah menunduk, "Gue masuk dulu." Sebelum akhirnya mengikuti langkah Ruqayyah, gurunya.

"Bu Ruqayyah!" Zannah sedikit berteriak, lalu berlari kecil menyeimbangi langkah Ruqayyah. Gelagat menyerang tenggorokannya tiba-tiba, dia kurang yakin akan memulainya dari mana. "Khem, g-gue ... maksudnya, saya, saya boleh ngomong sebentar sama Ibu?"

Perempuan di balik jilbab segitiga panjang itu  ikut berdeham, dia pun merasa canggung. "Mau ngomong apa, Zannah?"

"Ini sedikit pribadi, sih, Bu." Sambil terus berjalan menyusuri koridor kelas, Zannah menggaruk tengkuknya bingung.

"Apa ini soal di gramedia dua minggu yang lalu?" Ruqayyah menebaknya.

"Hm ... iya, Bu. Saya bukannya ingin meminta penjelasan, justru di sini saya yang ingin menjelaskan sesuatu pada Ibu."

Mendengar kalimat Zannah ini, sepertinya Ruqayyah sudah tau ke mana arahnya. "Mari ikut saya." Dua perempuan yang sejatinya tertoreh di hati Fatih itu berjalan beriringan, menuju perpustakaan sekolah. Sepagi ini, perpustakaan selalu kosong.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang