25. Pagi yang Kelam

963 74 26
                                    

Air matanya terus bercucuran, menatap dirinya di balik pantulan cermin, bahkan untuk menatap tubuhnya itu lebih lama lagi Zannah rasanya tidak kuat. Dia merasa jijik, ketika dia harus dipaksa berdandan seperti sekarang ini.

Dress merah glamor berbahan satin tanpa lengan, dengan panjang hanya sampai lutut. Memadu dengan lipstik merah darah, rambut dicepol hingga menonjolkan leher jenjangnya yang menggoda. Perutnya yang membumbung itu tak menjadi masalah untuk penampilannya yang sudah sangat cetar membahana itu.

"Ga usah nangis lo, senyum! Pokoknya lo harus tampil menggoda di depan dia, pusasin dia. Kalo ga, habis lo di tangan gue!" Farel menbentaknya, lalu menarik paksa tangannya keluar dari sana. Menggiringnya ke mobil, lalu meluncur ke hotel.

Berselang beberapa menit, mereka sudah tiba di salah satu hotel yang tidak terlalu megah. Jantung Zannah semakin berdebar, entah bagaimana nasib yang akan dihadapi nanti. Seakan seekor harimau sedang menantinya di dalam sana, yang akan menerkamnya tanpa sisa. Perempuan itu benar dilanda ketakutan luar biasa.

Namun lelaki gila itu terus menyeret langkahnya, hingga tiba di sebuah kamar dengan nomor 101. Farel mengangkat dagu Zannah, hingga mata keduanya bertemu. "Heh, dengerin gue. Pria yang nunggu lo di dalem itu langganan VIP, jadi lo harus bisa bikin dia puas."

Zannah hanya terpejam tanpa menjawabnya, air matanya yang tak ingin berhenti itu dihapus kasar oleh Farel, lantas setelahnya membuka pintu kamar dan mendorongnya masuk. "Camkan kata-kata gue!" Farel lalu menguncinya dari luar, dan akan memberikannya nanti kepada penyewa jika dia sudah datang.

Perempuan malang itu melangkah ke arah jendela, berdiri mematung di sana sambil memeluk dirinya sendiri, menetapkan pandangannya pada cahaya mentari pagi yang mengintip dari ufuk timur. "Ini hukuman buatku, karma itu benar-benar nyata. Dan inilah yang harus aku tuai dari perbuatanku terhadap suamiku sendiri. Demi apa pun, aku menyesalinya. Mas Fatih, aku harap masih bisa menyaksikan mentari pagi bersamamu, sembari menikmati secangkir teh."

Ujung bibirnya tertarik, dengan posisi tangan yang sudah berpindah mengelus perutnya. "Aku bertaubat, ya Allah. Aku pasrahkan hidup dan matiku. Ampuni semua dosa-dosa hamba, terutama dosaku kepada suamiku tercinta, Muhammad El-Fatih." Perempuan itu melirih.

Bersamaan dengan itu, suara pintu berdecit, dibuka oleh seorang lelaki berewok, memakai pakaian formal ala pria kantoran. Zannah berbalik menatapnya dengan wajah tertekuk. Dengan melihat tatanan wajahnya saja Zannah sudah melihat bagaimana nafsu menguasai pria itu.

Hendak melangkah dengan senyum seringai ke arah Zannah, tapi ponsel yang digenggamnya berdering. "Halo, Sayang." Dia berkata, tanpa mengalihkan pandangannya dari Zannah. Dia terlihat diam mendengarkan lawan bicaranya di balik telelon, lantas kembali menjawab. "Iya ini sudah di kantor, Sayang. Em, sudah dulu, ya? Aku ada rapat pagi ini." Pria berewok itu memutuskan teleponnya.

Zannah menggeleng tak habis pikir melihatnya. "Sebenarnya apa yang kamu cari dari pelacur- pelacur itu, hm? Sementara kamu memiliki seorang istri di rumah. Apa bedanya? Istrimu halal bagimu, tidak ada tabir dosa di antara kalian. Ini malah bela-belain sewa lacur mahal-mahal, otakmu di mana?" Emosi menyulutnya, pasti sangat sakit berada di posisi sang Istri.

"Tentu saja berbeda, Babe. Aku bosan dengannya, jadi aku mencari suasana yang berbeda. Lagi pula, aku masih memenuhi tanggung jawabku sebagai suami dengan menafkahinya, sesekali juga bercinta dengannya. Yang aku lakukan dengan para pelacur itu pada hakikatnya bukan selingkuh, sebab aku melakukan itu atas dasar nafsu, bukan rasa cinta." Berewok di dagunya itu ikut bergerak, kala dia menjelaskan mengenai pemikirannya.

"Lelaki stress, gila, ga punya hati! Ga usah mimpi aku bakal nyerahin tubuhku ke kamu, harusnya kamu pikirin istrimu, dia susah payah ngurus rumah, ngurus anakmu!" cerca Zannah penuh sentimental.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang