20. Talak

1.1K 93 41
                                    

Musim hujan kembali menyapa, memeluk bumi dengan rintiknya yang syahdu, merangkulnya dengan belaian dari nabastala. Banyak filosofi yang memaknai hujan, tapi percayalah, filosofi hadir sebab rasa. Bersama genangan hujan, banyak makhluk yang kemudian merindu. Merindu kepada yang dinanti atau merindu kepada yang sudah pergi.

Pun dengan lelaki yang masih bersimpuh di atas sajadahnya itu, dia merindukan sosok yang telah pergi enam bulan yang lalu. Tangisnya semakin pecah ketika mengingat pesan terakhirnya, yakni menikahi Zannah. Dengan maksud lain, dia dipercayakan untuk menjaga Perempuan itu, baik dunia maupun akhiratnya. Kekecewaan pada diri sendiri menghantuinya, dia merasa telah gagal menaklukkannya. Lihatlah Zannah sekarang, dia sekacau itu.

Di tengah peliknya dia berdoa, Fatih mendengar hentakan kaki menuruni tangga. "Mau ke mana lagi perempuan itu? Ini sudah pukul sepuluh malam." Dengan gontai Fatih melangkah menuju pintu.

Tatkala pintu terbuka, benar saja di anak tangga berdiri seorang Zannah dengan pakaian terbuka. Celana jeans yang ketat, berpadu dengan baju crop serta rambut yang terurai. "Mau ke mana lagi, kamu?"

Langkah Zannah terhenti, sebab dia memang sengaja menghentakkan kakinya keras-keras agar Fatih mendengarnya. "Hadeh, lo ga capek apa ngurusin gue mulu?" Zannah berbalik, menatap malas ke arah Fatih.

"Jangan bilang kamu mau ketemu lagi sama si pacarmu itu?" Fatih bertanya sambil menyender ke pintu, entah mengapa lelah sudah menghampirinya. Mungkin bukan hanya lelah tetapi juga hati yang sakit, terlebih mengingat Zannah sudah lancang menamparnya dan mempermalukan dirinya di hadapan Farel beberapa hari yang lalu.

"Nah itu lo tau, ngapain masih nanya? Ini malam Minggu, ya gue mau malmingan-lah, sama pacar gue."

Fatih memejamkan matanya, sambil melenggangkan kepalanya. Dia melangkah maju meraih perempuan itu dan menggiringnya ke dalam kamar. Zannah tentu saja berontak, tapi Fatih tidak memikirkan itu, dia terus saja menyeretnya, lalu menutup pintu dengan sedikit membantingnya.

"Apa, sih, lo! Ga usah lebay, gini aja ngamuk!"

"Ga usah banyak bicara, katakan apa maumu." Fatih berujar dengan nada berat. "Sudah hampir enam bulan pernikahan kita, aku selalu berusaha menerima semua tentangmu, semua keburukanmu di masa lalu. Aku berusaha mencintaimu sebisa aku, aku menyayangimu tulus, berusaha membimbingmu. Pernah sekali aku berkata kasar padamu? Berlaku kasar padamu? Aku selalu berusaha agar kamu merasa nyaman di sisiku, tapi lihatlah dirimu? Semua yang kulakukan sia-sia." Tatapan Fatih menembus perasaan Zannah.

Hati Zannah sungguh terluka hebat mendengarnya.
Apa kamu pikir aku tidak jatuh cinta setelah semua itu? Tapi ... ah, sudahlah. Jangan membuatku ragu untuk melanjutkan ini, Mas Fatih.

"Ya, terus?"

Zannah menjawabnya dengan ekpresi seacuh mungkin, guna menutupi hatinya yang justru dibanjiri luka.

"Terus, katamu? Kamu ga sadar, Zannah? Aku mendiamimu tiga hari ini agar kamu bisa menyadari di mana salahmu." Setelah pulang dari rumah sakit, Fatih sengaja bersikap dingin kepada Zannah, hanya agar perempuan itu bisa kembali berpikir dan merenung. Namun Zannah, perempuan itu justru semakin sering telponan dengan pacarnya itu. Sekarang kesabaran Fatih sudah benar di ujung tanduk.

"Oh, jadi itu alasannya lo diemin gue kemarin? Supaya gue peka, gitu? Tapi masalahnya gue malah suka lo diemin gue, gue berasa ga ada beban tau, ga," bohong Zannah. Dia mengatakan 160 derajat berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya.

Gelengan kepala menjadi satu-satunya balasan dari Fatih setelah mendengar jawaban Zannah. Tangannya terangkat mengusap kasar wajah gusarnya, "Tolong jujur sama aku, apa tidak ada meski setitik kamu mencintaku, Zannah?"

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang