Di sudut ruangan sebuah cafe yang masih sepi pengunjung, seorang wanita berjilbab hitam bermotif sedang terduduk dilanda kegelisahan. Dirinya diselimuti rasa malu demikian meluapnya, rasanya dia ingin menghilang begitu saja setelah apa yang terjadi. Semuanya berserakan.
Dia melihat jam yang bertengger di pergelangannya, "Sudah jam 11 siang, Mba Laras pasti sedang dalam perjalanan. Aku harus memulainya dari mana nanti?" Tak henti-hentinya wanita ini menggosok punggung tangannya, sebagai bentuk keresahan yang melandanya.
Berselang beberapa menit kemudian, wanita anggun berjilbab sedada yang senada dengan gamisnya datang dari arah pintu. Menatapnya hangat sembari tersenyum. "Mba Mia, maaf membuatmu menunggu."
Mia berdiri menjabat tangan orang yang memang sedari tadi ditungguinya. "Ah, tidak mengapa. Duduklah, Mba."
Beberapa saat berbincang biasa, pesanan coffee pun sudah tiba, keresahan semakin tampak dari pahatan wajah wanita yang masih berumur 30 tahunan itu. Hawa panas yang menelusup diam dari sela jendela menambah kesan, seolah hembusan AC tak terasa.
"Sebelumnya, apa perjodohan antara anak kita masih bisa dibatalkan, Mba Laras?" cicit Mia hati-hati, mengatakan kalimat itu sembari menunduk.
Sementara Laras, wanita paruh baya itu kaget bukan main. Persetujuan Fatih memang belum dia dapatkan, tapi dia sama sekali tidak punya niatan untuk membatalkan yang sudah jadi sejak sebulan yang lalu.
"M-membatalkan? Maksud Mba Mia bagaimana, ya? Apa Zannah telah dipinang lebih dulu?" tanya Laras heran, padahal niatnya sudah membulat, persetujuan Fatih pun akan dia usahakan. Namun Mia malah berniat untuk membatalkannya, keningnya mengerut kemudian.
"Bukan demikian, Mba, tapi ...." Rasa kecewa dan malu kembali menggerogoti Mia, sampai tenggorokannya pun terasa serak. Entah apa tanggapan Laras setelah mengetahui ini, Mia sudah dicukupkan sadar bahwa Zannah sama sekali tidak cocok dengan putranya yang lulusan pesantren. Lagi pula, putranya juga pasti mempelajari perihal ayat yang mengatakan bahwa laki-laki baik untuk perempuan baik. Lantas, apakah mungkin laki-laki baik sepertinya bisa menerima seorang pezina? Oh, Mia rasanya tak sanggup membicarakan aib ini.
"Kamu baik-baik saja, Mba? Ada apa? Katakanlah," cerocos Laras yang juga mulai menerka-nerka.
"Anakku ... anakku ...." Tak sanggup Mia meneruskannya, air matanya luruh bersamaan dengan itu, dadanya terasa sesak sampai bahunya pun ikut bergetar menahan sakit dalam hatinya.
Laras yang menyaksikan itu teramat kaget, berpikir entah seberapa berat kalimat yang akan dikeluarkan, sampai tak bisa melanjutkannya dan justru tergantikan tangis seduh.
"Mba?" Laras kemudian berpindah tempat ke sampingnya. Menepuk pelan pundaknya, berusaha menenangkan. "Are you okay? Why?"
"Apa kamu akan membenciku setelah mengetahui ini, Mba?" Mia mendongak menatap Laras sendu.
"Sstt, pertanyaan macam apa ini? Kamu paling tau bagaimana dekatnya kita, memangnya ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba berbicara tentang pembatalan perjodohan, lalu menangis? Come on say," jawabnya dengan sungguh.
"Zannah ... anakku itu sangat bodoh. Oh, benar dia betul-betul bodoh, aku rasa dia sangat tidak cocok dengan anakmu. Aku mohon, batalkan saja perjodohan ini. Carikan anakmu perempuan yang lebih baik, yang lulusan pesantren, yang akhlaknya baik. Aku mohon, Mba, jangan anakku." Tangisnya kian pecah, bibirnya sampai bergetar mengatakan itu.
Namun Laras, wanita itu semakin dilanda kebingungan. Pertemuan pertama sejak dia mengajukan perjodohan ini, bukan itu jawaban Mia.
"Mba, dengarkan aku. Kami telah memilih anakmu, baik-buruknya anakmu sudah kami terima dengan ikhlas. Fatih akan membimbingnya, tenang saja. Tolong jangan kekeh membatalkan perjodohan ini, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam untuk Zannah [END]
Random[PART LENGKAP - BELUM REVISI] "Siapa yang meneleponmu tengah malam begini, Zannah? "Bukan urusan lo." "Aku suamimu!" "Gak ada yang minta lo buat jadi suami gue!" --- Bagaimana jika ... menikahi perempuan yang telah dihamili lelaki lain? Pasalnya, Fa...