Orang-orang mengenakan pakaian putih berkumpul membentuk lingkaran, dengan objek tengah seorang pemuda tampan merintih dalam tangisan pilu memeluk nama sang ibunda yang tertulis rapi di atas nisan. Satu per satu pergi setelah berbela sungkawa, mengecap beberapa kalimat yang katanya sebagai penyemangat, untuk seorang anak yang kini ditinggal sang Ibu.
Pemuda berkopiah hitam itu tak menghiraukan, di sibuk menata hati yang hancurnya berkeping, berusaha menegakkan bahu dari apa yang dipikulnya. Berselang beberapa menit, nyatanya usahanya masih sia-sia. Tak berhenti-henti air matanya itu mengalir, mengusap penuh kasih sebuah nisan bertuliskan 'Larasvati Frizka binti Khairuddin'.
"Nak, mari pulang. Ikhlaskan semuanya, sudah takdir Allah," kata Hasbi.
"Duluan, Pak. Fatih pulang sebelum hari gelap."
Hasbi mengiyakan, memahami anaknya yang masih ingin menemani ibunya, sedang dia rasanya tak sanggup jika harus berlama-lama menatap sang istri yang kini hanya terlihat nisannya saja. Meninggalkan dirinya bersama kenangan dan seorang putra hasil cinta mereka.
Langit yang semula cerah, mendadak kelabu. Gerombolan awan hitam datang menggeser sinar surya yang semula terik, seakan semesta sedang menggambarkan bagaimana hati Fatih saat ini.
"Ibu. Kenapa secepat ini? Katanya Ibu ingin melihat nama Fatih disebut diatas mimbar sana, sebagai hafiz 30 juz. Bukankah Ibu selalu terharu ketika membayangkan hari penamatanku? Lalu bagaimana sekarang, Bu? Penamatanku dua bulan lagi, padahal Fatih sudah memimpikan bertahun-tahun yang lalu kedua telapak tangan Fatih memakaikan sebuah mahkota kemuliaan di kepala Ibu."
Tangisnya semakin meluap, bersamaan dengan air hujan yang tiba-tiba turun dengan begitu derasnya, menyerang tubuh Fatih tak tersisa, kuyup.
"Bagaimana Fatih hidup setelah ini, Bu?" rintihnya sembari memeluk nisan Ibunya, tak peduli bagaimana sakitnya untaian hujan turun bagai jarum yang menembus. Hatinya bahkan jauh lebih sakit dari itu.
Di tengah pilu yang tak kalah derasnya dengan hujan, Fatih merasa aneh ketika guyuran hujan itu tak lagi hinggap di tubuhnya, sementara rerumputan di sekitar sudah hampir tenggelam. Apa hujan pun tau dirinya sedang bersedih?
Melirik ke arah kiri, dia menemukan sepasang kaki yang basah, yang taunya menaungi dirinya dengan payung sejak tadi. Netranya menyusuri sepasang kaki itu, dan berhenti pada wajah seorang perempuan yang sungguh tidak asing, terbuai dalam tatapan mata yang sungguh indah.
"Muhammad El-Fatih." Bergetar bibir perempuan itu berucap, "turut berduka cita," sambungnya. Terus berusaha agar payung itu bekerja maksimal melindungi Fatih dari rintikan hujan, meski punggungnya kini sudah basah.
"R-ruqayyah," ucap Fatih pada akhir kekagetannya.
"Berdirilah. ibumu tau kamu anak yang kuat, mahkota yang ingin kamu persembahkan untuknya pun tetap ada, dan akan kamu pasangkan di akhirat nanti, di depan Allah. Harusnya kamu melihat kematian, bukan sebagai musibah, tapi ketetapan Allah yang tidak akan pernah bisa kita hindari. Bukan hanya ibumu saja, aku, kamu, dan setiap yang bernyawa, akan sampai pada akhir. Ini hanya perihal antrian, dan ibumu saat ini sudah melewati antrian itu. Kamu siap atau tidak, persetujuanmu tidak dibutuhkan. Pulanglah, Fatih. Ibumu hanya membutuhkan amal jariyah yang akan dia dapat dari harta paling berharga yang dia tinggalkan sebelum berangkat, dan itu kamu."
Ruqayyah datang entah dari mana laksana seorang malaikat suci yang turun dari langit, menggapai Fatih dengan keindahan kata yang dia suguhkan. Lantas demikian, bagaimana bisa Fatih menolak cinta yang menggebu untuk perempuan di hadapannya saat ini?
"Mari pulang, aku temani."
Sebelum benar-benar beranjak, Fatih kembali berbalik menghadap nisan ibunya, memeluknya sangat dalam bagai kerinduan yang membara. Batinnya seakan berbisik, 'Lihatlah bagaimana perangai perempuan yang kemarin niatnya akan kukenalkan pada Ibu. Sayang, Ibu tidak sempat menatap mata indahnya'. Begitulah kira-kira, namun yang bisa terucap bibir hanya seutas kalimat pamit. "Aku pulang dulu Ibu, alfatihah-ku akan selalu menemani Ibu di sana. Baik-baik, ya, Bu. Semoga lahatmu ini sebaik-baik tempat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam untuk Zannah [END]
Rastgele[PART LENGKAP - BELUM REVISI] "Siapa yang meneleponmu tengah malam begini, Zannah? "Bukan urusan lo." "Aku suamimu!" "Gak ada yang minta lo buat jadi suami gue!" --- Bagaimana jika ... menikahi perempuan yang telah dihamili lelaki lain? Pasalnya, Fa...