7. Hati yang Tak Mencinta

902 104 50
                                    

"Saya terima nikahnya Zannah Kirania, dengan mahar tersebut, dibayar tunai."

"Sah."

Air mata Zannah meluruh bersamaan dengan kata yang serentak diucapkan, tatkala lelaki di sampingnya selesai mengucap ijab qabul. Tangan yang sudah selesai berdoa itu lantas merambat turun mengusap pelan perutnya yang sudah berisi.

"Ayah kandungmu akan datang menjemput kita, Nak," batinnya melirik sendu sesosok lelaki tampan berkopiah hitam, yang baru saja menyandang status sebagai suaminya.

Hari ini, tepat 28 Februari 2023, pernikahan di atas dua hati yang tak saling mencinta terlaksana, setelah tiga hari sebelumnya melalui prahara hati yang tak mudah. Meski demikian, keputusan yang terpilih adalah tetap melanjutkan apa pun yang terjadi, sesuai permintaan Laras pada embusan napas terakhirnya.

Fatih berbalik menatap Zannah, dalam pikirnya berkelabat bayangan kotor tentang Zannah yang sudah dijamah, beradu dengan bayangan Ruqayyah ketika kabar ini sampai padanya. Sungguh, tidak ada hati yang bahagia di atas pernikahan ini.

Tangan Fatih terangkat perlahan, memegangk ubun-ubun Zannah. Jemarinya bergetar, ini adalah kali pertama dia memegang perempuan asing selain ibunya selama empat tahun terakhir. Bibirnya bahkan ikut bergetar, mengecap doa setelah ijab qabul itu.

Lalu setelahnya, Zannah beralih menciumi tangan Fatih, dengan bulir air mata yang menetes. Zannah tidak tahu arti dari air mata itu, intinya, Zannah tidak menaruh simpati pada pernikahan ini.

Sementara Hasbi, dia meluruh bersama dengan semua asanya. Kini putra satu-satunya, telah resmi menjadi suami dari perempuan yang tak pernah anaknya itu dambakan. Pikirannya terseret pada hari-hari sebelum pernikahan ini, ketika dia berdebat hebat dengan Fatih.

Pagi itu, setelah Fatih selesai dengan keperluan ia dengan sang Ilahi, Hasbi datang hendak berbicara baik-baik. Sebab keputusan Fatih sudah terlalu kuat untuk dipatahkan dengan argumen. Maka dengannya, Hasbi berusaha melukuhkannya dengan hati. Dia paling tahu kelemahan Fatih, dia tidak akan bisa melihat orang yang disayanginya memohon. Terlebih, ini adalah kalimat terakhir Laras.

"Nak, Fatih. Kemarilah, Bapak pengen bicara sekali lagi." Pria paruh baya itu lantas duduk di sebuah kursi yang terdapat di dekat jendela, sinar mentari pagi menelisik hangat dari sela-selanya.

Sebelum benar-benar beranjak dari atas sajadah, Fatih kembali memejamkan mata. "Pak, Fatih sebenarnya sudah sangat lelah. Kenapa harus dihadapkan dengan masalah seperti ini? Kenapa harus Zannah?"

"Fatih, sebenarnya Bapak sama sekali tidak ingin memaksakan kehendakmu jika sudah menyangkut masa depanmu. Namun ini ... ketahuilah, aku dihantui perkataan ibumu hari itu. Tidakkah kamu berpikir ibumu punya alasan yang baik kenapa dia tetap kekeh setelah tau bagaimana keadaan Zannah? Lakukanlah sebab wasiat ibumu, Fatih. Tuntun Zannah ke jalan yang benar. Jika kamu tak menyukai perangainya hari ini, maka ubahlah ia, jadikanlah ia sebagai bidadari surgamu." Mata yang sayu itu menatap anaknya penuh belas kasih.

Lama sama-sama membisu, Fatih akhirnya benar-benar memilih untuk mengangguk tanpa kata. Dia pasrah pada akhirnya, sebagai bentuk pengorbanan terakhir untuk sang Ibunda.

...

Senja mulai terkikis, gelapnya malam mulai menyusuri perlahan, membelenggu bersama sejuk angin yang menenangkan. Malam ini, adalah malam yang begitu asing untuk dua pasutri baru itu. Setelah rampung acara pernikahan mereka, Hasbi memutuskan untuk tidak tinggal dengan anak dan menantunya, dia memberikan kunci rumah sendiri untuk mereka tempati. Mulai sekarang, dia merasa telah melepas Fatih untuk berkelena dengan kehidupan barunya, Hasbi tidak ingin terlalu ikut campur.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang