22. Rekaman Absah

1K 87 38
                                    

Terbangun setelah kehilangan itu sungguh tak enak, atma ini harus menghadapi keadaan yang sejatinya hanya diharapkan sekadar mimpi, tapi nyatanya ialah sebuah realita di depan mata. "Ya Allah, bagaimana dengan hamba setelah ini?" Lelaki itu masih duduk di atas sajadahnya, tiada niat ingin beranjak. Rasanya, hanya di tempat itu dia bisa merasa tenang dengan menumpahkan seluruh keluh kesahnya.

Matahari telah mulai menapaki langit, menyinari semesta dengan kehangatannya, memberinya sebuah kehidupan yang tenteram. Namun buat apa, jika yang dicinta telah pergi entah ke mana. Raga yang kelaparan sebab cinta, mengalahkan laparnya fisik. Jarum jam sudah berada di angka sembilan, tapi Fatih hanya terus berputar pada pikirannya dengan Zannah.

"Ya Allah, jagalah Zannah di mana pun dia berada, berikan kemudahan dan keselamatan padanya. Zannah, meski talak sudah kujatuhkan, nyatanya hati ini justru kamu bawa pergi, menyisakan aku dengan kesendirian di sini." Dia terus saja berorasi dengan rindunya.

Hingga suara bel rumah terdengar nyaring, "Siapa yang datang? Mungkinkah Zannah yang kembali?" Fatih buru-buru beranjak, menuruni tangga dengan tergesa, lalu mempercepat langkahnya menuju pintu.

Tatkala pintu itu terbuka, di baliknya berdiri seorang perempuan yang amat jelita, berbalut abaya merah tua dengan jilbab sedada warna hitam. "Assalamualaikum, El," katanya mengucap salam.

"Wa-waalaikumussalam, Ayyah." Fatih salah, yang datang adalah Ruqayyah, bukan istrinya.

Perempuan ayu itu tersenyum, "Maaf mengganggumu pagi-pagi, ada yang ingin kubicarakan."

Tak lama setelahnya, seorang lelaki berkacamata dengan tatanan rambut yang rapi datang dan berdiri di samping Ruqayyah, ikut mengucapkan salam pada Fatih. "Assalamualaikum, saya Azam."

Fatih meraih uluran tangannya, "Waalaikumussalaam, Fatih." Lelaki berkopiah itu tercengang sejenak, siapa Azam ini? Sebelum akhirnya Fatih mempersilakan masuk. "Ah, maaf, silakan masuk."

Mereka duduk di sofa saling berhadapan, dengan posisi Ruqayyah yang duduk bersebelahan dengan Azam. Fatih diam-diam memerhatikan gelagat mereka berdua, sempat merasa aneh melihat keakrabannya.

Ruqayyah lantas memulai topiknya. "Aku pengen bicara tentang Zannah," paparnya. "Tapi sebelumnya aku ingin memberitahumu dulu, ini dia Azam Firdaus, calon suamiku. Kami akan mengadakan acara lamaran beberapa hari lagi, kami harap kamu bisa datang, El."

Apa yang dituturkan Ruqayyah tidak dicerna dengan baik oleh Fatih, calon suami? Itu cukup mengganggunya. Keningnya bertaut, "Lamaran?"

Fatih kemudian disahut oleh Azam. "Benar, mendapatkan Ruqayyah bukan hal yang mudah. Aku memperjuangkan cintaku padanya sejak dia masuk bangku kuliah, tapi dia selalu menutup diri. Pernah sekali aku menanyakan alasannya, dia menjawab sedang menjaga hatinya untuk seseorang. Namun sekarang, sepertinya seseorang itu telah meninggalkannya. Setelah perjuanganku empat tahun lebih, akhirnya aku bisa mendapatkan hatinya. Itu memang bukan waktu yang sebentar, tapi aku menikmatinya sebab hadiah dari penantianku ini adalah dia, Ruqayyah." Azam berbicara panjang lebar.

Entah sengaja atau bagaimana, tapi Azam tahu bahwa yang ditunggu Ruqayyah waktu itu adalah lelaki yang sekarang dihadapannya ini. Namun sepertinya, Azam memang sengaja menyindirnya.

Fatih terdiam mendengarnya, serasa hatinya dibuat meringkus sebab narasinya. Meski begitu, dia sangat merasa lega melihat Ruqayyah kini dimiliki oleh lelaki yang bertanggungjawab, yang setia, dan yang lebih mencintainya.

Sementara Ruqayyah, dia tersipu malu. Sebisa mungkin menyembunyikan rona wajahnya yang memerah. Katanya, mati satu tumbuh seribu. Ruqayyah bahagia, di balik hancurnya melihat Fatih dengan Zannah, Azam datang sebagai obat terbaik yang pernah ada. Ruqayyah bersyukur, ada Azam yang tak pernah lelah mengejar cintanya selama empat tahun, meski terombang-ambing di tengah ombak.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang