2. Harapan yang Pupus

1.5K 116 38
                                    

Katanya, orang selalu punya jalan untuk memperbaiki diri tanpa mengenal kata terlambat. Seseorang selalu bisa memulainya kapan saja, syair hidayah yang menembus hati selalu berhasil menuntun pemiliknya, berbelok dari jalan sebelumnya. Rambu-rambu yang berperan dalam perjalanan itu, seringkali datang dari arah yang tak diduga.

Muhammad El Fatih, empat tahun silam dia membuktikan dirinya pada keteguhan iman yang menyambarnya perlahan. "Aku mencintaimu, Ruqayyah. Sungguh. Tapi biarkan aku mempersiapkan bekalku dulu sebelum menjadi iman dalam hidupmu. Tunggulah aku beberapa tahun lagi, dan kamu akan mendapati Fatih yang baru, Fatih yang sudah siap dunia akhirat untuk menuntunmu, menemaninu, menjagamu." Penggalan kata Fatih kala itu, dengan tegas dan meyakinkan.

Ruqayyah, gadis itu sempat menolak. "Tidak, Fatih. Aku tidak yakin kamu kembali menemuiku dengan niat yang masih sama, maka biarkan aku berada di sisimu dan menemanimu berproses."

"Bagaimana bisa, Ruqayyah? Allah jelas melarang hubungan antar dua non mahram, lalu bagaimana bisa hijrahku bisa khuyuk? Tolong biarkan aku memperdalam agamaku. Hanya empat tahun, empat tahun, Ruqayyah. Ketika hari kelulusanku di pondok sudah tiba, aku akan kembali padamu dengan sepasang cincin." Sebuah kalimat puitis yang Fatih janjikan.

Setelah perbincangan itu, Fatih benar-benar menghilang, tak lagi bertemu Ruqayyah. Namun tepat hari ini, jum'at Februari, untuk pertama kalinya Fatih kembali melihat gadis bernama Ruqayyah itu setelah empat tahun lamanya. Hatinya berdesir hangat, tak mungkin dia lupakan janjinya. Sungguh berbinar mata Fatih menatapnya, balur jilbab sedada begitu anggun membungkus kecantikannya. Matanya masih sama indahnya, hidung mungil masih sama menawannya, hanya saja, kini dia jauh lebih anggun.

"Apa itu kamu, Ruqayyah?" Bergetar bibir Fatih mengecapnya. Bayangan Ruqayyah empat tahun lalu adalah remaja tujuh belas tahun dengan rambut yang terurai, namun sekarang, Ruqayyah seolah terlahir kembali sebagai muslimah yang begitu menawan. "Aku sudah siap, Ayyah. Tunggu aku beberapa hari lagi, niat dan hatiku masih sejalan dengan empat tahun lalu." Lebar senyum terpampang nyata di pahatan wajah Fatih.

Hari ini, Fatih akan pulang. Minggu lalu rampung sudah hafalannya, dan penamatannya akan digelar di bulan April sebelum Ramadhan. Sedang di pintu gerbang sana, Ruqayyah sudah terlihat bergegas pergi, entah apa tujuannya berkunjung ke pondok ini, apa pun itu Fatih senang bisa melihatnya kembali.

Sesampainya di rumah, wajah Ruqayyah selalu mengikuti jejak pikir Fatih. Niatnya semakin membulat. "Aku harus mengatakan ini pada Ibu," angguknya berkata.

Melirik jam yang bergelantung di dinding, sudah menunjukkan pukul sebelas, dengannya Fatih beranjak untuk mandi dan bersiap-siap ke masjid untuk salat jum'at.

...

"الرجال قوّامون على النسا"

Menggelegar suara khatib di atas mimbar, menyerukan bait-bait kebaikan, puing keemasan di dinding masjid sebagai saksi.

"Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Maka sudah seharusnya seorang laki-laki bisa menuntun keluarganya, anak istrinya, ke jalan yang benar. Inilah tugas terberat seorang laki-laki. Ketika laki-laki itu sudah memegang janji suci pernikahan, kehidupan sang istri dipindahkan ke pundak lelaki, lelaki harus bisa memastikan dunia akhirat sang istri. Oleh karena itu, dalam diri seorang lelaki harus tertanam iman yang kuat, rasa bertanggung jawab, ketulusan, dan yang paling penting adalah kejujuran dan omongan yang bisa dipercayai. Maka dengannya, sakinah mawaddah warahmah, akan Allah turunkan dalam bahtera rumah tangga itu."

Ritual suci yang diwajibkan atas lelaki seminggu sekali yakni di hari jum'at ini selesai dengan khidmat. Fatih membungkus rapi isi dari khutbah tadi, berdiri teguh sudah dalam hatinya bahwa sebuah keharusan dia menepati janjinya pada Ruqayyah. Semakin meluap sudah, berita ini tak sabar ingin dia sampaikan pada Ayah dan Ibunya.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang