5. Pandangan Pertama

1K 110 37
                                    

Embun menetes romantis di pagi buta yang masih temaram, hawa dingin yang menyegarkan menusuk pori-pori, hangat mentari sebentar lagi akan kembali menjumpai bumi. Deretan pepohonan pun kembali menyapa awan setelah semalaman suntuk didekap gemintang. Hari ini, sudah cukup seminggu pasca hari yang begitu berat untuk Fatih, hari di mana pusat kebahagiaannya kini dikungkung sebidang tanah. Meski demikian, rasa sakitnya ditinggal sang Ibu masih terasa dengan jelas, belum ada keadaan yang baik-baik saja setelah kepulangannya itu, semuanya masih terasa sesak saja.

Lelaki itu mendekap linglung di balik sebuah mushaf kecil di tangannya, baru saja menyelesaikan zikir pagi serta mengulang hafalannya. Di keadaannya yang masih berkabung, dia kembali dihadapkan dengan masalah yang tak kalah beratnya, yakni pernikahan yang diwasiatkan sang Ibunda, belum lagi masalah hatinya dengan Ruqayyah. Dia sempat berpikir, kenapa ujian yang dititipkan ke pundaknya harus beruntun? Fatih seakan ditarik untuk menyerah.

Bibirnya mengucap istigfar diikuti embusan nafas, "Oh, Allah ...."

"Fatih! Kamu bersiap-siaplah sekarang." Suara khas situ memekakkan telinga Fatih, berteriak dari arah meja makan.

"Iya, Pak. Sebentar," jawab Fatih sedikit berteriak. Rasa mengeluh lalu merambat kembali, sebab hari ini dia akan dipertemukan dengan perempuan yang akan menjadi istrinya. Jauh di lubuk hati lelaki itu, dia masih cukup dihantui rasa penasaran, tentang apa yang dibicarakan Laras ibunya dengan sahabatnya itu, sebelum meninggal pada akhirnya di kecelakaan. Fatih juga bertanya-tanya, kenapa ibunya itu kekeh atas pernikahan ini.

"Ah, memikirkan ini semakin membuatku frustrasi saja. Bagaimanapun kebenarannya, aku harus tahu sebelum mengucapkan ijab qabul!" Lepas mengatakan itu, Fatih memilih bergegas untuk mandi. Sejauh ini, Fatih sama sekali tidak pernah terbesit dalam pikirnya membayangkan bagaimana rupa dari balik nama Zannah itu, dalam hati kecilnya bahkan mengakui, dia tidak yakin keelokannya melabui Ruqayyah, baik rupa dan akhlak.

...

Sementara di saat yang bersamaan, di sebuah rumah sederhana berlantai dua yang dibalut cat putih tulang, dalamnya sedang riuh menyiapkan jamuan. Beberapa hari sebelumnya dia telah mengonfirmasikan kabar dari calon besan mengenai kunjungan di pagi hari sembari menyantap sarapan bersama. Ibu tangguh itu sudah bangun sejak pukul empat dini hari, sementara sang Anak justru masih molor di balik selimut.

Si Ibu lantas berteriak nyaring, "Zannah, bangun! Jangan sampai calon suamimu melihatmu seperti itu, bangunlah mandi dan kenakan pakaian yang sopan!"

Namun, sang empu yang diteriaki malah semakin mendengkur, mengeratkan pelukannya pada guling, lantas berkata lirih, "Siapa yang peduli dengan pertemuan ini? Bagus kalo lelaki sok alim itu melihat sifat asliku, biar dia nolak!" Zannah tak mengindahkan teriakan ibunya, masih sibuk berkolega dengan mimpi indah andai Farel kekasihnya datang untuk menjemput dirinya. Namun sepertinya, benar itu hanya sebatas mimpi saja.

Sedang enak-enaknya menggeliat, Mia justru masuk menarik selimut yang membungkus tubuh anaknya. "Zannah, bangun atau Mama akan menyirammu!"

Gadis yang hanya mengenakan kaos oblong dengan celana sepaha itu mendumel, "Mama ih, aku masih ngantuk. Nanti saja!" racaunya dengan mata masih tertutup.

"Mama ga terima alasan. Sekarang bangun, sebentar lagi mereka akan datang, Zannah."

Zannah bangun dengan setengah nyawa yang belum terkumpul, menatap mamanya penuh tanya. "Ma, Zannah sebenarnya malu, bagaimana jika dia tidak mau menerimaku dengan janin ini? Bagaimana kalau justru mereka datang untuk menuntut kematian Tante Mia. Bukankah Tante Mia kecelakaan setelah bertemu Mama dan membicarakan soal kehamilanku. Zannah takut, Ma," cicitnya menunduk, dia tidak berbohong. Gadis itu benar atas kegundahannya.

Imam untuk Zannah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang