Sembilan

256 38 11
                                        

Adelle menghentikan langkah di ujung tangga ketika melihat seseorang keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamar. Seseorang itu adalah Nicta, kekasih dari suaminya.

"Udah balik lo?" sapa Nicta, tentunya dengan nada ketus sembari melangkah ke arah tangga.

"Kamu ngapain dari kamarku?" tanya Adelle.

Nicta menghentikan langkahnya tepat di hadapan Adelle. "Abis ngambil ini," kata si aktris cantik sembari menyentuh piyama satin berwarna maroon yang dia pakai.

"Itu punyaku! Kenapa kamu pakai barangku tanpa izin?"

Nicta mengedikkan bahu acuh. "Kata Regi, piyama ini Mama yang beli, jadi boleh gue pakai."

"Mama?" Adelle membeo.

Nicta mengangguk. "Iya, Mama, Mamanya Regi. Udah deh, kenapa gue jadi ngomong sama lo, sih? Minggir lo! Gue mau tidur, Regi udah nungguin di kamar!"

Adelle menatap Nicta tajam. "Kamu sadar enggak? Rumah yang kamu injak lantainya ini adalah rumahku. Kamar yang baru aja kamu masuki tanpa permisi itu adalah kamarku. Piyama yang kamu pakai itu milikku. Orang yang kamu sebut Mama itu mertuaku. Dan laki-laki yang tidur sama kamu itu suamiku. Kamu sadar enggak?"

Alih-alih tersinggung, Nicta justru terkekeh sembari menatap Adelle dengan tatapan meremehkan.
"Lo yang harusnya sadar! Semua yang lo sebutkan itu adalah sesuatu yang seharusnya jadi milik gue. Semuanya. Karena yang seharusnya jadi istri Regi itu gue."

"Kata 'seharusnya' yang kamu sebutkan tadi sama sekali enggak berpengaruh, Nicta. Karena kenyataannya yang dipilih menjadi istri Regulus itu adalah aku."

"Lo berbicara seolah-olah Regi menikah sama lo atas dasar keinginannya sendiri. Lo lupa? Baru tadi pagi Regi menjelaskan ke lo tentang alasan dia memilih lo. Itu karena lo menyedihkan."

"Itu sama sekali enggak mengubah fakta bahwa wanita yang dipilih oleh Regulus untuk menjadi menantu Dirgantara adalah aku, bukan kamu. Jaga batasanmu selagi aku masih bersikap baik, Nicta!"

Nicta terperanjat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Adelle.
"Lo jadi berani ya sama gue!"

"Sejak awal aku memang enggak pernah takut sama kamu ataupun Regulus. Aku diam karena malas meladeni orang bodoh sepertimu. Dan sekarang aku sudah lelah terus-terusan disuruh diam. Jadi segera sadar dari posisimu! Jangan selalu hidup dengan bersembunyi di balik kata 'seharusnya', kamu harus segera sadar akan 'faktanya' yang jelas-jelas terpampang nyata di hadapanmu! Aku adalah menantu Dirgantara, istri dari Regulus Dirgantara, itu faktanya."

Adelle melangkah melewati tubuh Nicta yang menegang karena dikuasai oleh amarah. Tepat sebelum membuka pintu kamar, Adelle berbalik lagi menatap punggung Nicta yang masih kaku.
"Satu lagi, aku tahu kamu punya rumah megah lima lantai yang kamu bangun dengan karirmu sebagai aktris kontroversi, kenapa kamu betah sekali menumpang di rumah kecil ini seperti pengemis? Tinggalkan rumahku sebelum aku memanggil banyak wartawan ke sini untuk meliput berita tentang kamu yang menjadi simpanan dari suamiku."

Kalah telak, Nicta bungkam tak bersuara. Sementara Adelle melangkah masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.

Menantu bungsu Dirgantara itu melangkahkan kakinya menuju ranjang, mendudukkan tubuh lelahnya ke atas ranjang kemudian meletakkan hand bag yang sejak tadi digenggamnya ke atas nakas.

Ponsel di dalam hand bag-nya berdering sekali pertanda ada pesan masuk, membuat si pemilik segera meraih kembali hand bag itu dan mengeluarkan benda pipih berwarna rose gold dari sana. Adelle memeriksa pesan masuk di ponselnya itu. Nama Ardean yang baru saja dia simpan tertera sebagai si pengirim pesan.

Ardean Bimantaka

Halo Adelle, saya menghubungi karena ingin memeriksa apa kamu udah sampai rumah. Enggak perlu dibalas. Kalau kamu sudah membacanya, saya anggap kamu udah sampai.

Seulas senyum kecil terbit di bibir Adelle ketika membaca pesan dari Dean. Lalu secara tiba-tiba kalimat yang Dean ucapkan beberapa jam lalu kembali terngiang di dalam kepalanya.

Seandainya perih, kamu bisa berlari ke arah saya.

Perih? Apa Adelle masih bisa merasakan apa itu perih? Apakah indera perasanya bahkan masih berfungsi? Lalu, apakah Adelle benar-benar boleh lari?

*****

"Regi! Aku enggak bisa ya diginiin!"

Regulus menoleh ke arah Nicta yang langsung mengomel ketika memasuki kamar. Pria yang sedang berbaring di ranjang itu lantas mendudukkan diri sambil menatap sang kekasih.

"Kamu kenapa? Mukamu kelihatan marah banget."

"Gimana aku enggak marah? Istrimu yang sialan itu menyebutku pengemis yang numpang di rumahnya. Dia juga nyebut kalau aku ini simpanan suaminya. Kamu mikir, dong! Aku enggak bisa dihina begini sama perempuan enggak punya atitude itu!"

Regulus menghela napas, kemudian bangkit dari ranjang. Dihampirinya sang kekasih yang napasnya memburu karena emosi. Perlahan digenggamnya tangan Nicta dengan lembut. "Tenang dulu, jangan terbawa emosi. Jangan sampai stress. Kamu enggak mau 'kan wajahmu nanti keriput?"

"Ya tapi aku enggak bisa dihina begini Regi! Kamu ngerti enggak, sih? Kamu mau diem aja lihat pacarmu dihina sama orang? Kenapa kamu diem aja? Kamu tuh beneran sayang sama aku atau enggak sih? Kamu ngerti enggak apa yang kurasain?"

"Iya aku ngerti, aku ngerti," kata Regulus lembut, "tapi kamu harus tenang dulu."

Nicta menepis tangan Regulus dengan kasar. "Enggak usah nyuruh aku tenang! Kamu enggak sayang aku!"

"Hei, jangan ngomong sembarangan! Aku sayang sama kamu, sejak dulu memang cuma kamu perempuan yang paling kusayang setelah Mama."

"Kalau begitu ceraikan Adelle sekarang juga! Aku enggak mau lagi lihat perempuan itu di dekat kita."

"Nicta, tenang dulu! Kamu tahu 'kan alasanku menikahi Adelle? Ini semua bukan keinginanku, ini keinginan Mama. Ini juga demi kita, kalau aku sudah jadi CEO nanti, aku pasti akan langsung menceraikan Adelle dan menikahimu. Aku butuh Adelle saat ini, sebagai jembatan untuk menuju impian kita."

Regulus menarik Nicta ke dalam dekapannya, dipeluknya erat tubuh sang kekasih dengan penuh sayang. Beberapa saat berselang, tangisan Nicta pecah dalam pelukan hangat Regulus.

"Harusnya aku yang jadi istrimu. Harusnya aku, bukan dia," desis Nicta di sela isakannya.

"Iya, aku ngerti. Aku juga maunya kamu yang menjadi istriku."

"Aku cinta kamu, Regi. Cinta kamu."

"Iya aku juga cinta sama kamu. Cuma kamu, Nicta, cuma kamu. Enggak akan ada yang lain."

"Aku benci Adelle. Aku benci banget, Regi. Aku enggak suka perempun itu. Aku benci."

"Iya, Sayang, iya," Regulus mengusapi kepala Nicta lembut, berusaha menenangkan sang kekasih yang tantrum.

"Jangan nangis lagi, Sayang. Kamu tahu 'kan? Aku paling enggak bisa lihat kamu nangis. Jangankan sampai ada yang berani melukai hatimu, hair stylish yang nyentuh ujung rambutmu dengan sedikit kasar aja pasti akan kumarahin. Aku enggak bisa melihat kamu terluka sedikit aja, Sayang. Baik secara fisik ataupun hati," bisik Regulus di telinga Nicta.

Kebencian Regulus terhadap Adelle semakin tumbuh di hatinya. Karena gadis yang statusnya sebagai istri sah dari pria itu sudah berani menggores luka di hati Nicta, gadis yang setengah mati Regulus jaga dan pastikan kebahagiaannya.

*****

Seandainya PerihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang