Sebelas

254 44 6
                                    

Note : Gaboleh baca sebelum vote + follow!

*****

Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
Sedangkan menurut kebanyakan orang awam, rumah adalah tujuan pulang, tempat di mana seseorang beristirahat dan melepaskan penat serta lelah dalam menjalani keseharian.
Rumah adalah tempat di mana seharusnya sebuah keluarga berkumpul dan saling berbagi kehangatan.
Rumah adalah rumah, tidak ada tempat yang seperti rumah.

Lalu, apa arti rumah bagi seorang Adelle Albara? Tidak ada. Rumah hanyalah bangunan berdinding serta atap dingin tempatnya berteduh. Rumah hanyalah tempat yang memang harus dia tuju setelah pulang kerja. Rumah adalah tempatnya kembali, mau tidak mau Adelle harus tetap kembali ke rumah, rumah yang dia huni bersama Regulus. Ralat, rumah yang dia huni sendirian. Ya, benar-benar sendiri setelah seminggu yang lalu Regulus meninggalkan rumah itu bersama Nicta.

Semenjak hari Regulus pergi, Adelle menjalani kehidupan seperti biasanya. Dia pergi bekerja lalu pulang, di akhir pekan dia hanya menghabiskan waktu dengan bersih-bersih rumah, persis seperti yang dia lakukan ketika belum menikah dan masih tinggal sendiri di apartemen. Singkatnya tak ada perubahan signifikan yang terjadi di hidup Adelle. Hanya statusnya di mata orang-orang saja yang berubah, dari putri bungsu Albara menjadi menantu bungsu Dirgantara.

Lalu, apakah Adelle kesepian? Sungguh, Adelle tidak paham apa itu sepi. Sejak dahulu dia selalu berteman dengan kesendirian, menjalani kehidupan di rumah itu sendirian bukan hal baru bagi Adelle.

Meskipun sesekali sesak menjalar di dadanya ketika mengingat impian sederhana yang pernah Adelle rangkai di masa lalu.

Adelle pernah ingin menjalani kehidupan pernikahan yang biasa. Dulu Adelle hanya ingin menggelar pesta pernikahan sederhana di kebun belakang rumah dengan orang yang dia cintai, tinggal di rumah sederhana di mana ada dua handuk tergantung di dinding bathroom, dua pasang kaos kaki di laci nakas, dua mug cangkir teh yang tergeletak di meja pantry, dua pasang sandal rumahan yang berjejer di samping pintu masuk serta dua kursi rotan di balkon kamar. Semuanya dua, semuanya pasangan. Adelle hanya ingin kehidupan sederhana seperti itu. Impian yang dulu dia pikir akan bisa diwujudkan oleh Ben Martin. Sayangnya pria sialan itu memilih menuruti keluarganya untuk meninggalkan Adelle dan bertunangan dengan selingkuhannya. Adelle tidak terlalu menyesal, siapa pula yang sudi menikah dengan pria kasar seperti Ben?

Adelle harus mengubur impian sederhana itu saat ini. Karena realita yang dia hadapi sangat jauh dari mimpinya. Sungguh, impian sederhana itu terasa terlalu muluk baginya saat ini.

Pagi ini Adelle terbangun dengan nyeri kepala yang cukup mengganggu. Gadis itu bangkit dari ranjang, berjalan tertatih menuju kotak obat lalu mencari pereda nyeri dan langsung menelannya. Setelah merasa cukup baik, Adelle lantas mulai bersiap untuk pergi bekerja.

Putri bungsu Albara itu mengendarai mobilnya perlahan menuju tempat kerja dengan kepala yang sesekali masih berdenyut nyeri. Ketika berhenti di lampu merah, pandangan mata gadis itu semakin mengabur karena nyeri kepala yang semakin terasa. Adelle bahkan melajukan mobilnya sebelum lampu berubah hijau karena tidak bisa melihat dengan jelas warna lampu lalu lintasnya. Tindakannya itu hampir menciptakan kecelakaan ketika sebuah taksi dari arah kiri melaju dan hampir menabrak badan mobil Adelle. Beruntungnya taksi itu langsung membelokkan kemudinya, namun hal itu jelas membuat pengemudi lain yang melaju segera membelokkan stir ke segala arah, saling menghindarkan kendaraan masing-masing dari tabrakan.

Suara klakson mobil serta umpatan pengemudi lain menggema bersahut-sahutan membuat Adelle kebingungan hingga menghentikan mobilnya tepat di tengah persimpangan. Adelle menjambak rambutnya sendiri karena semakin pusing. Gadis itu membenturkan dahinya ke stir kemudi beberapa kali, merasa kesal karena sakit di kepalanya justru semakin menjadi.

Seandainya PerihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang