Delapan Belas

295 37 10
                                    

Adelle menahan napas ketika melihat pemandangan di hadapannya. Rasanya seperti deja vu ketika gadis itu melihat Regulus berdiri di ruang tamu sambil menggandeng tangan Nicta. Jika saat itu Adelle tak merasakan apa pun ketika melihat keduanya bermesraan, kali ini hati Adelle terasa sangat sakit ketika dirinya melihat jemari sang suami saling bertautan dengan jemari kekasihnya. Pasalnya jemari Adelle masih mengingat dengan jelas betapa hangatnya genggaman tangan Regulus. Adelle tahu betapa nyamannya genggaman itu. Adelle juga ingin digenggam seperti itu lagi.

"Del? Kenapa lo melongo?"

Suara Regulus menyadarkan Adelle, gadis itu segera menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen sebanyak yang dia bisa.

"Kamu tadi ngomong apa?" tanya Adelle.

"Nicta baru pulang dari rumah sakit dan kebetulan asistennya cuti, jadi enggak ada yang bisa jagain dia kalau balik ke rumahnya, makanya gue bawa dia ke sini. Setidaknya di sini ada lo, dia enggak akan telat makan dan sakit lagi. Boleh, 'kan?"

Boleh, 'kan? Regulus sedang meminta persetujuannya? Sejak kapan pria itu butuh persetujuan Adelle?

"Kalau aku bilang enggak boleh, memangnya kamu akan peduli pada laranganku? Enggak perlu nanya ke aku, atur aja apa yang mau kamu atur, aku enggak peduli," ujar Adelle sebelum berbalik dan segera menaiki tangga menuju kamarnya. Sementara Regulus ikut melangkah dengan sebelah tangan menggandeng lengan Nicta dan sebelah lagi menyeret koper Nicta.

"Kamu ngapain minta izin sama dia segala? Ini 'kan juga rumahmu," ujar Nicta ketika mereka menaiki tangga.

"Ini juga rumah Adelle, Sayang.'

Nicta mendengus. "Lagian kenapa sih kamu harus ngajak aku pulang ke sini? Kita 'kan bisa pulang ke rumahku aja. Kenapa harus di sini?"

"Aku juga harus mengawasi Adelle, kamu tahu 'kan? Aku hampir bunuh dia kemarin."

"Sampai kapan sih kamu mau nyalahin dirimu sendiri kayak gini? Ini tuh bukan salahmu! Ini salah Adelle sendiri yang enggak mau bilang tentang alerginya. Kalian enggak saling mengenal sebelumnya, wajar kalau kamu enggak tahu dia alergi berry. Udah lah, semua ini bukan salahmu."

Regulus tersenyum kemudian mengangguk lembut kepada kekasihnya yang sudah memasang wajah cemberut.

"Pokoknya aku enggak mau kelamaan di rumah ini. Cukup tiga hari aja!" ketus Nicta.

"Iya, Sayang," sahut Regulus mantap sebelum mereka memasuki kamar tamu yang sebelumnya pernah mereka tempati.

Sejujurnya Regulus juga tidak tahu kenapa dia harus membawa Nicta ke rumah Adelle. Namun Regulus hanya mengikuti instingnya. Hati pria itu baru bisa tenang jika dia bisa mengawasi Adelle yang baru pulih, namun dia juga tidak mungkin mengabaikan Nicta yang juga baru sembuh. Jika sampai Nicta sakit lagi, mungkin Regulus akan segera gila. Jadi dengan sedikit pertimbangan, Regulus memutuskan untuk menjaga dua wanita itu tetap dalam pengawasannya. Setidaknya hanya selama tiga hari, sampai Regulus benar-benar yakin kalau Adelle sudah baik-baik saja. Setelah itu Regulus akan mengajak Nicta pulang ke rumahnya dan tinggal bersama dirinya di rumah megah milik gadis itu.

"Kamu istirahat aja, biar aku yang beresin barangmu," ujar Regulus ketika baru menutup pintu kamar. Nicta mengangguk tanpa banyak protes, gadis itu segera membaringkan tubuhnya di atas ranjang kemudian mulai memejamkan mata.

Setelah membereskan barang Nicta dan memastikan gadis itu tertidur dengan nyenyak, Regulus melangkah perlahan keluar dari kamar untuk melihat kondisi Adelle. Tepat ketika Regulus keluar kamar, pria itu melihat Adelle melangkah menuju tangga. Bungsu Albara itu terlihat berpakaian rapi dan menjinjing handbag, seperti sudah bersiap untuk pergi. Melihat itu, Regulus segera menghampiri sang istri.

Seandainya PerihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang