Enam belas

328 44 7
                                    

Regulus meraba samping tempat tidurnya. Kosong, hanya ada udara hampa. Dengan segera pria itu mengerjabkan mata dan melihat ke samping. Di mana Nicta?

Pria itu mengerjab sekali lagi, kemudian membuka matanya dengan lebar. Seketika putra bungsu Dirgantara itu menyadari bahwa dia tidak berada di kamar Nicta.

"Ah, iya. Aku 'kan di rumah," kata Regulus pada dirinya sendiri.

Regulus menghela napas ketika perlahan ingatannya semalam kembali terputar ulang dalam kepala. Ketika dia menarik Adelle ke dalam dekapannya, ketika dia berusaha tidur sambil memeluk gadis itu, dan juga ketika dia merasakan sesuatu yang aneh mulai menjalari dirinya.

Entah untuk alasan apa, Regulus merasa ingin melindungi Adelle sejak melihat gadis itu merintih dalam tidur sembari memanggil ayah dan kakak lelakinya. Regulus merasa hatinya tercubit ketika melihat gadis tidak bersalah itu terlihat sangat rapuh dan lemah, seolah meminta untuk dikasihani. Sejak saat memeluk Adelle di rumah sakit hingga saat ini, Regulus terus merasa kalau dia sangat ingin melindungi serta menjaga sang istri meskipun hatinya enggan mengakui si bungsu Albara sebagai istri sahnya. Regulus menyimpulkan bahwa semua yang dia rasakan adalah perasaan bersalah dan penyesalan karena hampir membunuh Adelle. Awalnya pria itu tetap pada pemikirannya, namun entah keanehan macam apa yang sedang terjadi, semalam jantung Regulus turut berdebar ketika memeluk Adelle. Dia merasa risih sekaligus senang. Dia sangat tidak suka sensasi aneh dalam benaknya ketika memeluk sang istri, namun juga merasa tak rela melepaskan Adelle dari dekapannya. Sampai saat ini Regulus masih tak mengerti, perasaan apa yang sebenarnya sedang dia rasakan?

Regulus menggeliat bangkit, pria itu lantas berjalan keluar kamar. Begitu mendengar suara dari dapur, Regulus segera mengetahui bahwa Adelle pasti berada di sana.

Si bungsu Dirgantara melangkahkan kakinya menuruni tangga dan terus menuju dapur. Dilihatnya sang istri sedang memotongi bahan-bahan masakan di atas meja dapur. Gadis itu sudah mengganti piyama yang semalam dia pakai dengan dress rumahan sepanjang betis.

"Lo ngapain?" tanya Regulus.

"Udah bangun? Aku mau masak sarapan."

"Gue 'kan udah bilang, lo enggak boleh terlalu banyak gerak dan harus banyak istirahat!"

"Regulus, aku udah sembuh. Lagi pula enggak ada satu pun bagian tubuhku yang cedera atau luka, jadi kenapa aku enggak boleh bergerak?" kata Adelle sembari berbalik menuju rak untuk mengambil panci. Setelah berhasil memegang panci, Adelle kembali ke meja dapur. Ketika meletakkan panci ke meja, tanpa sengaja lengannya menyentuh pisau yang dia letakkan di tepi meja. Pisau itu jatuh ke lantai dengan posisi ujung tajamnya mengarah ke bawah, tepat ke arah di mana kaki kanan Adelle berada.

Melihat hal itu, Regulus dengan cepat menarik tubuh Adelle dan mendekapnya. Adelle yang terkejut hanya pasrah merasakan jantungnya kembali berdebar secara abnormal dalam dekapan Regulus.

Pisau yang hampir mengenai kaki Adelle itu akhirnya jatuh tergeletak di lantai dapur.

Regulus menghela napas lega karena berhasil menyelamatkan kaki sang istri.
"Lo tuh susah banget sih dibilangin! Hampir aja kena pisau, 'kan! Mendingan istirahat sana! Dapur bukan tempat yang aman buat lo saat ini."

Itu adalah omelan, dan ini bukan pertama kalinya Regulus mengomel. Pria itu sangat sering mengomel jika Adelle melakukan kesalahan, namun anehnya omelan sang suami kali ini terasa berbeda. Entah mengapa, Adelle justru merasa senang diomeli oleh pria itu saat ini.

"Duduk di meja makan aja sana! Biar gue yang siapin sarapan."

Adelle mendongak menatap Regulus. "Memangnya kamu bisa masak?"

Seandainya PerihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang