Dua puluh empat

356 49 3
                                    

Suara langkah kaki menggema di seluruh ruangan, langkah panjang tak menentu yang dibuat oleh sepasang kaki cantik berbalut flatshoes berwarna magenta milik Nicta. Nicta berjalan sambil menghentakkan kakinya dengan kasar menyusuri lantai satu lalu lanjut menaiki tangga yang membawanya menuju lantai dua rumah megah empat lantai yang dia bangun dengan jerih payahnya itu.

Gadis cantik yang berprofesi sebagai aktris itu sama sekali tak bisa menyembunyikan raut kekesalan di wajahnya. Karena itu Nicta menyuarakan kekesalannya dengan hentakan kaki. Hingga ketika dia tiba di lantai dua, tingkah kekanakan gadis itu menarik perhatian salah satu asisten pribadi yang turut tinggal di rumahnya. Yola, sang asisten yang kebetulan tengah melintas di koridor lantai dua itu tanpa sengaja berpapasan dengan sang majikan. Melihat gerak-gerik Nicta yang terlihat hampir meledakkan amarah, Yola segera menegurnya.

"Mbak Nic, lo kenapa?" tanya Yola sembari berhenti di hadapan Nicta.

Melihat Yola di hadapannya, Nicta segera menghentikan langkah dan menatap gadis berusia dua tahun lebih muda darinya itu.
"Gue lagi sebel," sahut Nicta ketus.

Yola sudah sangat paham dengan gaya bicara Nicta yang memang selalu tergantung pada mood-nya. Sehingga gadis itu tidak merasa tersinggung sekali pun sang majikan berbicara dengan ketus.
"Sebelnya kenapa?"

"Tuh si Regi. Gue udah capek-capek jemput dia ke rumahnya. Ngasih dia kejutan gitu 'kan ceritanya, karena gue baru balik dari luar kota. Eh dia malah nganterin gue balik terus bablas lagi pulang ke rumah istrinya. Kan sebel banget gue!"

Yola meraih sebelah lengan Nicta. "Mbak, ngobrol di kamar lo aja gimana? Kalo di sini entar kedengeran sama pekerja yang lain."

Sementara Nicta hanya menurut saja ketika Yola menggandengnya menuju kamar utama yang dia tempati. Yola mengajak Nicta duduk di tepi kolam renang yang ada di luar kamar sang majikan. Setelah duduk dengan nyaman di kursi santai yang bersisian, Yola mulai bertanya lagi kepada Nicta.

"Jadi ada apa?"

"Gue sebel. Gue ngerasa Regi tuh berubah banget sekarang. Selama gue pergi kemarin dia cuma nelfon gue dua hari sekali, padahal biasanya dia selalu ngirimin pesan sekedar ingetin gue makan. Dan yang lebih parahnya tuh dia harusnya bisa 'kan nungguin gue balik di rumah ini aja? Kenapa dia harus balik ke rumah istrinya coba?" Nicta mulai menyuarakan kekesalannya.
"Ditambah lagi nih, tadi abis nganterin gue dianya langsung balik dengan alasan masih ada kerjaan malem ini. Dia bilang ini demi gue juga, dia harus jadi CEO demi gue. Padahal ya La, dia jadi gembel juga gue enggak peduli. Gue bakalan tetep mau nikah sama dia. Cinta gue ke dia tulus, gue mampu kok nafkahin dia seandainya dia diusir sama keluarganya karena menceraikan Adelle dan memilih hidup sama gue. Tapi pas gue ngomong gini ke dia, dia bilang kalau dia menikahi Adelle bukan cuma demi jadi CEO, tapi juga demi mamanya. Dia gamau mamanya sedih. Duh banyak banget alesan dia sekarang tuh."

Yola menganggukkan kepalanya beberapa kali menanggapi cerita Nicta.
"Kalau menurut gue nih ya Mbak, kayaknya mas Regi tuh mulai jatuh cinta sama istrinya deh."

Nicta melotot kesal menatap Yola. "Jangan sembarangan ngomong lo ya! Regi itu cintanya sama gue!"

"Dari semua perubahan sikap mas Regi ke lo, dari yang biasanya lo ke luar kota dan dia ngikut, sampe sekarang yang cuma nelfon lo dua hari sekali doang, lo yakin dia masih cinta banget sama lo, Mbak?"

Nicta mengangguk yakin. "Yakin lah! Regi itu cuma lagi banyak kerjaan aja makanya dia sibuk sampe enggak bisa full time buat gue."

"Ya kalau lo seyakin itu sama mas Regi, kenapa lo dari tadi ngomel-ngomel? Gue yakin sekarang hati lo lagi panas dingin bimbang karena diri lo sendiri juga enggak yakin apa mas Regi beneran masih jadiin lo prioritasnya. Iya, 'kan?"

Seandainya PerihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang