A/N :
Yang belum follow aku yuk bisa yuk follow dulu, biar aku makin rajin update. Dan buat yang enggak mau vote, semoga jempolnya copot. Wkwkwk. Lufff :*
*****
Nicta menggeliat ketika matanya merasa silau, gadis itu perlahan membuka mata dan mendapati Regulus tengah menyibak tirai jendela besar di kamar sang aktris cantik.
"Bangun! Udah jam delapan," kata Regulus.
"Regi, apa-apaan, sih? Aku masih ngantuk, aku baru pulang shooting jam dua pagi," keluh Nicta.
"Siapa yang nyuruh kamu shooting sampai jam segitu?"
Nicta berdecak. "Aku udah tekan kontrak, jadi harus profesional, dong. Harus nurut mau dikasih jam shooting kapan aja."
"Aku enggak peduli," ujar Regulus, "aku enggak pernah menyuruh kamu bekerja menjelang pernikahan kita. Kamu sendiri yang ngeyel mau kerja."
"Tapi aku suka, Regi. Aku suka kerja."
Regulus menghela napas. "Terserah kamu, deh. Sekarang kamu harus bangun. Kita enggak boleh terlambat datang ke makan malam perayaan anniversary pernikahan mas Al dan mbak Nila."
"Itu 'kan masih nanti malam, kenapa harus siap-siap sekarang, sih?" keluh Nicta lagi.
"Mama mau ketemu sama kamu. Kita 'kan belum pernah ke rumah mama semenjak keluargaku tahu kamu hamil. Jadi ada banyak yang mau mama bahas sama kamu."
"Tentang apa?" tanya Nicta.
Regulus menghela napas. "Aku juga enggak tahu."
"Regi, aku takut."
"Kenapa mesti takut? Ada aku, Sayang."
Regulus melangkah menghampiri tempat tidur, diraihnya jemari Nicta dan digenggam lembut.
"Kita harus hadapi ini. Cepat atau lambat mama akan segera ketemu kamu. Kalau dibiarkan terlalu lama perutmu akan semakin membesar dan orang-orang akan bergosip tentang kamu. Lebih cepat lebih baik, 'kan?"Nicta mengangguk, meski sejenak sempat melupakan bahwa dia tengah berbohong tentang kehamilannya.
"Kamu siap-siap, ya? Aku tunggu di meja makan, kita berangkat setelah sarapan."
"Oke," sahut Nicta.
Setelah mengusap puncak kepala Nicta dengan penuh sayang, Regulus bangkit dan melangkah keluar dari kamar sang kekasih.
Regulus menuju meja makan. Sampai di sana pria itu melihat beberapa asisten rumah tangga Nicta tengah menyiapkan sarapan di meja makan. Begitu melihat Regulus datang, para asisten itu mengangguk sopan sebelum kembali ke dapur. Sementara Regulus duduk di salah satu kursi sembari menatap sarapan yang tersaji. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam benaknya. Ingatan tentang masa kebersamaan dia dengan Adelle. Biasanya setiap pagi Adelle selalu menyiapkan sarapan untuknya, tidak peduli sesibuk apa pun gadis itu.
Bungsu Dirgantara itu menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir bayangan Adelle yang tengah menyusun piring di atas meja makan. Adelle Albara sangat Berbeda dengan Nicta yang bahkan tak pernah pergi ke dapur atau pun menyentuh piring dengan tangannya sendiri.
Kemudian ketika Regulus mulai menyendoki omelet di piringnya, mendadak lidah pria itu merindukan rasa masakan Adelle. Regulus menghela napas sembari meletakkan sendoknya lagi, Regulus tersadar betapa sesak batinnya merindukan sosok bungsu Albara yang beberapa waktu lalu masih setia berada di sampingnya meskipun sudah dia sakiti berulang kali.
Terkadang sesak, terkadang juga hampa, itulah yang selalu Regulus rasakan setiap kali mengenang sosok gadis yang pernah menjadi istrinya itu. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana kenangan hari terakhir mereka berada dalam satu rumah. Ketika itu Regulus berangkat ke kantor tanpa menyapa Adelle, dan ketika dirinya pulang dari kantor Regulus tak lagi mendapati Adelle di mana pun dalam sudut rumah mereka. Dadanya mencelos ketika melihat lemari sang istri sudah kosong. Adelle pergi, benar-benar pergi dari kehidupannya.
Sang bungsu Dirgantara pernah berusaha mencari Adelle, namun tak pernah lagi dia temui hingga kini. Sosok sang istri benar-benar sudah menghilang tanpa jejak. Tidak ada sepenggal pesan pun yang gadis itu tinggalkan untuk Regulus. Tidak ada selembar surat pun yang ditujukan untuknya. Adelle juga tidak pernah hadir dalam sidang perceraian mereka. Kini, merindukan Adelle sembari memeluk Nicta adalah keseharian hampa yang harus dia lalui dalam hidupnya. Adelle, si gadis mandiri yang sanggup membawa separuh hati Regulus pergi.
"Hai, Sayang," Nicta yang baru saja muncul mendadak mengecup pipi Regulus, membuyarkan lamunan pria itu seketika. Nicta mengambil duduk di samping sang kekasih, kemudian mulai melahap sarapannya.
"Sayang, kamu dari tadi ngapain aja? Kenapa makananmu belum habis?" tanya Nicta ketika melihat isi piring Regulus yang masih banyak.
"Nungguin kamu," sahut Regulus berbohong.
Nicta yang percaya hanya tersenyum ceria, sama sekali tidak tahu bahwa sang kekasih masih merindukan wanita selain dirinya.
Kalau dipikir-pikir rasanya aneh bagi Regulus. Setelah bertahun-tahun bersama Nicta, bagaimana mungkin dia bisa dengan mudahnya jatuh hati pada Adelle hanya dalam hitungan bulan? Sebegitu kuatnya pesona dari gadis bungsu Ainesh Albara itu bahkan mampu menyilaukan pandangan sang bintang Regulus. Sayang, sekarang Adelle hanya ada dalam kenangan bagi pria itu.
"Kamu belum mandi?" tanya Regulus kepada Nicta.
Nicta menggeleng sembari menyendoki omelet di piringnya. "Belum. Habis sarapan nanti."
Regulus terkekeh. "Jorok."
Nicta menjulurkan lidahnya. "Biarin."
Lalu pria itu kembali teringat kepada Adelle si gadis disiplin yang selalu menjaga kebersihan. Adelle tidak pernah sarapan sebelum mandi, gadis itu juga tidak pernah menjulurkan lidah seperti Nicta. Dia sangat pendiam, namun juga selalu berbagi cerita dengan Regulus. Dia sangat anggun, dingin, namun sikapnya juga terasa hangat di saat bersamaan. Regulus sampai bingung bagaimana cara mendeskripsikan sosok sang bungsu Albara yang sangat unik.
Setelah memakan beberapa sendok omelet, Nicta meletakkan sendok kemudian meminum air di gelasnya. Seperti biasa, Nicta tak pernah menghabiskan makanannya dengan alasan harus menjaga berat badan. Hal itu kemudian kembali mengingatkan Regulus kepada Adelle. Wanita yang selalu menghabiskan makanannya. Kata Adelle di suatu hari, "Ada banyak orang yang tidak bisa makan di luar sana, jadi mengapa aku harus membuang-buang makanan? Kalau aku tak bisa menghabiskan satu porsi penuh, aku akan membuat setengah porsi agar bisa kuhabiskan. Yang perlu kulakukan cuma mengurangi jumlah makanan, bukan membuang makanannya."
Begitulah Adelle yang Regulus tahu. Regulus tak pernah tahu kalau Adelle pernah membuang makanan satu meja penuh yang sudah dia siapkan untuk makan malam bersama Regulus di malam terakhir kebersamaan mereka. Regulus tak pernah tahu ketika malam itu Adelle menghianati prinsipnya sendiri karena terlalu merasa sesak dan sakit hati akibat ulahnya.
"Kenapa sih, Regi? Kenapa sekarang kamu banyak melamun?" seru Nicta.
"Aku? Kapan?" tanya Regulus berpura-pura tidak menyadarinya.
"Sejak kemarin kamu pulang dari persidanganmu."
Regulus mengulum senyum. "Mungkin aku cuma capek, banyak pekerjaan yang terbengkalai karena aku sibuk mengurus perceraian."
"Oke. I see," sahut Nicta acuh sembari mengulurkan tangannya meraih sebuah stroberi di mangkuk buah. Gadis itu segera memasukkan sebuah stroberi ke mulutnya dan menggigit separuh lalu mulai menikmati buah mungil tersebut. "Wah, manis banget!" puji Nicta sebelum melahap habis sisa stroberi di tangannya.
Lagi dan lagi, pemandangan itu kembali mengingatkan Regulus pada sosok Adelle yang menderita alergi berat terhadap segala jenis buah beri. Lalu kenangan buruk tentang bagaimana Regulus hampir membunuh Adelle karena sepotong kue kembali terkenang. Kalau dipikir-pikir, semua perasaan yang Regulus miliki untuk Adelle bermula sejak saat itu. Awalnya rasa kasihan, kemudian nyaman, lalu saat Adelle pergi, Regulus baru menyadari bahwa pria itu mencintai Adelle, jauh lebih besar daripada rasa cintanya untuk Nicta yang justru kian hari kian memudar.
"Udah selesai, aku mandi dulu, ya!" kata Nicta sebelum bangkit dan melangkah kembali ke kamar.
Regulus hanya mampu memandang punggung Nicta dengan hampa. Sekarang yang tersisa dalam diri Regulus hanya kekosongan. Regulus merindukan Adelle, tapi pria itu juga tak bisa meninggalkan Nicta. Sungguh, pria yang sangat egois. Regulus yakin, tidak akan ada yang bisa memahami apa yang dia rasakan, bahkan dirinya sendiri juga tak bisa memahami. Regulus menginginkan Adelle, sangat menginginkannya.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Seandainya Perih
RomanceHanya karena kamu itu bintang paling terang di langit, bukan berarti kamu adalah pemilik alam semesta, Regulus. Adelle- ***** Sebelumnya aku adalah lelaki baik yang hanya mencintai Nicta, tapi Adelle datang dan membuatku berubah menjadi monster yang...