Dua

486 45 12
                                    

Deburan ombak menabrak batu karang menjadi irama merdu yang masuk ke indra pendengaran Adelle, bersahutan dengan siulan angin yang berembus perlahan. Terik matahari tak membuatnya memiliki keinginan untuk meninggalkan pantai. Kaki telanjangnya masih betah menginjak butir-butir pasir putih nan halus itu, matanya juga masih setia menatap cakrawala nan jauh di sana.

Dress putih selutut yang dia pakai berkibar diterpa angin, membuat setengah pahanya terekspos. Namun Adelle tidak menghiraukan hal itu. Dia senantiasa memandang jauh ke lautan.

"Jika dibandingkan dengan lautan dan semesta, aku hanyalah makhluk kecil. Jadi, mengapa aku harus memiliki beban yang sangat berat? Lepaskan, Adelle! Lepaskan semua bebanmu, biarkan angin membawanya menjauh," Adelle terus mengulang kalimat itu dengan lirih, seperti sebuah mantra ajaib yang dia gumamkan untuk menenangkan kegelisahan. Begitulah cara Adelle menyembuhkan jiwanya sendiri.

Setelah merasa jauh lebih baik, gadis itu menurunkan sun glass yang sejak tadi bertengger di atas kepala. Dengan anggun, Adelle memakai sun glass itu demi melindungi kedua netranya dari cahaya matahari yang semakin menyilaukan.

Adelle melipat kedua tangannya di depan perut, menarik napas panjang lalu mengembuskan perlahan. Setelah mengulang hal itu beberapa kali, bungsu Albara merasa jauh lebih baik.
Adelle memeriksa arloji di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul dua siang. Sepertinya sudah saatnya bagi Adelle untuk kembali ke kamar hotel. Dia bisa tidur sebentar sebelum nanti bangun dan menikmati sunset dari balkon kamar hotel. Ya, begitulah yang ada dalam benak Adelle.

Adelle membalik tubuh kemudian hendak melangkah, namun gerakannya terhenti ketika merasakan tubuh kurus miliknya menabrak sesuatu. Disusul dengan terdengarnya suara seseorang mengaduh. Dengan segera Adelle membuka sun glass yang dia pakai agar bisa melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Setelah membuka sun glass, Adelle mendapati seorang gadis jatuh terduduk di pasir tepat dihadapannya.

"Sorry, are you ok?" tanya Adelle sambil berjongkok, hendak membatu gadis yang tak sengaja ditabraknya.

"Apanya yang oke? Mata lo enggak bisa lihat gue jatuh begini, hah?" omel si gadis.

Adelle mengulurkan tangan, hendak membantu gadis berambut pirang sebahu yang masih terduduk di atas pasir itu, namun tangan Adelle ditepis dengan kasar.
"Enggak usah pegang-pegang!" hardik si gadis.

"Saya cuma mau bantu kamu," kata Adelle.

"Gue enggak butuh bantuan lo!"

"Honey, kamu kenapa?"

Adelle dan si gadis kompak menoleh ke sumber suara, seorang pria berkaos putih tengah menghampiri mereka.

"Regi! Kamu sih ninggalin aku. Lihat, aku jadi jatoh karena ditabrak cewek ini!" rengek si gadis.

"Iya, maaf. Tadi aku angkat telepon dari mamaku dulu. Kamu enggak apa-apa 'kan?" tanya si pria sambil berusaha membangunkan tubuh kekasihnya.

"Pantatku sakit karena jatuh di pasir. Gara-gara orang ini nabrak aku!" Si gadis mengadu dengan nada manja.

"Maaf, tadi saya enggak sengaja," tutur Adelle sambil ikut bangkit.

"Gimana sih? Kalau jalan tuh pakai mata, dong! Lo enggak tahu? Pacar gue ini aktris, kalau dia lecet gimana? Lo mau tanggung jawab, hah?" omel sang pria kepada Adelle.
Pria itu lantas beralih lagi kepada sang pacar, "Kamu enggak luka, 'kan?"

"Enggak, kok. Cuma pantatku beneran sakit, nih."

"Masih bisa jalan tapi, 'kan?"

"Masih," rengek gadis itu, menjawab pertanyaan sang pacar.

Seandainya PerihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang