Sepuluh

295 42 15
                                    

Adelle baru saja selesai menyusun makanan di atas meja makan ketika mendengar suara langkah kaki menuruni tangga. Gadis itu segera menoleh dan mendapati Regulus yang melangkah menghampirinya. Pria itu masih memakai piyama lengkap dengan wajah sembab khas orang bangun tidur.

"Udah bangun?" tanya Adelle.

Regulus tak menyahut, tetap melangkah ke arahnya.

"Hari ini libur, jadi aku masak sarapan lumayan banyak. Nicta udah bangun? Ajakin sarapan sekalian sama kita!"

"Enggak usah sok peduli!"

Adelle mengerutkan dahi, menatap Regulus dengan tatapan tak mengerti.
"Siapa yang sok peduli?"

"Lo! Lo sok peduli sama Nicta di depan gue. Tapi di belakang gue, lo ngatain dia pengemis yang numpang di rumah lo. Asal lo tahu ya, gue juga pemilik rumah ini dan gue berhak menentukan siapa yang boleh tinggal di sini! Atas dasar apa lo melarang dia menginap di sini?"

"Aku enggak melarang dia menginap di sini. Aku cuma enggak suka dia sembarangan pakai barangku dan memasuki kamarku. Dia itu tamu, seharusnya dia tahu batasan."

Regulus meradang, wajah pria itu memerah memendam amarah.
"Lo yang harusnya tahu batasan! Lo itu cuma gue nikahin di atas kertas! Sepenuhnya hati gue punya Nicta. Sadar sama posisi lo!"

Adelle tahu semua itu adalah fakta dan seharusnya Adelle tidak perlu memedulikannya. Namun mendengar fakta itu keluar dari bibir Regulus dengan nada suara murka dan raut wajah serta sorot mata yang penuh kebencian, tak ayal membuat hati Adelle sedikit tercubit. 
"Apa pernikahan kita memang se-tidak ada artinya itu bagi kamu?"

"Ya! Karena satu-satunya pernikahan yang gue impikan adalah pernikahan gue sama Nicta. Bukan sama lo, orang asing yang tiba-tiba datang dan menghancurkan semua impian gue dan Nicta!"

"Regulus," panggil Adelle lemah, "pernikahan itu sesuatu yang sakral. Kamu mengucapkan janji suci di hadapan Tuhan dengan disaksikan oleh ratusan pasang mata. Semua itu nyata, benar-benar nyata. Tapi kenapa pernikahan kita sepertinya terlihat ibarat sebuah mimpi buruk di matamu? Ini semua bukan mimpi, Regulus. Ini nyata. Aku istrimu, kita sudah menikah. Ini semua kenyataan. Dan juga, aku bukan orang asing yang tiba-tiba datang ke hidupmu, tapi kamu yang menyeretku ke dalam duniamu. Asal kamu tahu, bukan hanya aku yang orang asing, kamu juga. Di mataku kamu adalah orang asing. Tapi aku berusaha menerima orang asing itu sebagai suamiku, aku menerima kehidupanku sebagai istrimu. Aku menerima semua ini sebagai takdir, bukan mimpi buruk. Apa kamu pikir hanya kamu yang terluka karena pernikahan ini? Aku juga, Regulus. Aku juga. Tapi aku berusaha memaafkan dan menerima semuanya."

Sekuat tenaga Adelle berusaha menahan bulir air mata yang hampir menerobos keluar dari kedua kelopak matanya. Sekali lagi, dia tidak ingin terlihat menyedihkan.

Alih-alih merasa bersalah karena telah menggores luka di hati sang istri, Regulus justru merasa semakin marah karena Adelle seolah menyudutkan dan mengatakan bahwa Regulus adalah pria jahat. Pria itu lantas menarik kasar cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya sendiri kemudian melemparkan ke arah Adelle. Cincin berwarna perak itu jatuh tepat di bawah kaki Adelle.

"I'm done with you!" kata Regulus sebelum berbalik meninggalkan Adelle dan kembali ke kamar tamu yang dia tempati bersama Nicta. Pria itu membanting pintu kamar dengan keras hingga Adelle yang masih ada di meja makan pun bisa mendengar suara bantingan pintunya.

Adelle menarik napas panjang, diusapnya air mata yang hampir merembes keluar kelopak. Gadis itu lantas berjongkok, memungut cincin yang baru delapan hari lalu dia sematkan ke jari manis Regulus. Gadis itu memasukkan cincin Regulus ke dalam saku dress rumahan yang dia pakai kemudian duduk di salah satu kursi meja makan.

Seandainya PerihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang