Semburat jingga mulai menghiasi sandyakala ketika Adelle berhasil memarkirkan mobilnya di pelataran rumah megah kediaman keluarga Ainesh Albara, ayah kandung Adelle.
Jujur saja, bungsu Albara itu sudah memiliki firasat tidak enak ketika sang ayah menghubungi dan memintanya untuk berkunjung ke rumah megah tempat dia dibesarkan itu. Adelle yakin, sesuatu yang tidak mengenakkan akan segera menimpa dirinya lagi.Adelle sangat tidak ingin datang dan memenuhi panggilan sang ayah, namun demi rasa bakti serta hormat kepada kedua orang tuanya, Adelle memutuskan untuk datang.
Setelah menghela napas panjang berulang kali, gadis itu keluar dari mobil dan melangkahkan kaki berbalut Stiletto merahnya itu menyusuri paving block yang akan membawanya menuju teras, terus hingga akhirnya sampai ke bagian dalam rumah. Begitu memasuki rumah utama, Adelle disambut oleh beberapa pelayan yang segera memberitahukan kepada Adelle bahwa sang ayah sudah menunggunya di ruang kerja.
Gadis berusia dua puluh sembilan tahun itu lantas kembali menyusuri koridor rumahnya, menuju ruang kerja tempat sang ayah sudah menunggu kedatangan Adelle.
Setelah sampai di depan pintu ruang kerja, Adelle mengisi pasokan oksigen berulang kali sebelum mengetuk daun pintu.
"Masuk!"
Begitu mendapat izin dari sang ayah, gadis berparas menawan itu lantas segera mendorong pintu ganda ruang kerja sang ayah hingga terbuka. Dengan perasaan semakin tidak enak, Adelle menghampiri sang ayah yang tengah duduk berhadapan dengan kakak sulung Adelle di sofa, saling menatap sebuah meja penuh tumpukan berkas yang terletak di tengah. Mereka tampak membahas sesuatu dengan serius, begitu Adelle masuk keduanya lantas menghentikan kegiatan dan mengarahkan atensi kepada Adelle.
Jasmine Albara, kakak sulung Adelle segera tersenyum dan melambaikan tangan kanan, menyambut sang adik.
"Lama enggak ketemu, gimana kabarmu?" tanya Jasmine sambil membenahi tumpukan berkas di atas meja yang tadi dia bahas bersama sang ayah."Baik, Kakak baik?" balas Adelle.
Jasmine mengangguk, "Not bad, lah! Kerja, kecapekan, ngeluh, repeat."
Adelle terkekeh, "Semangat, Kak! Calon presdir harus tahan banting."
"Iya, Adelle. Kamu ada penting sama Dad? Kalau iya, aku keluar dulu deh."
"Dad yang manggil Adelle ke sini."
Suara sang ayah mengalihkan atensi Jasmine, gadis itu segera menatap ayahnya dengan tatapan penuh tanya.
"Apa?" tanya Ainesh begitu menyadari tatapan putri sulungnya.
"Feeling aku enggak enak, Dad mau ngapain manggil Adelle?" tanya Jasmine.
"Ada sesuatu yang harus Dad bahas sama Adelle."
"Aku ikut kalau begitu," putus Jasmine.
"Ikut apa?" tanya sang ayah.
"Ikut ngobrol bareng Dad sama Adelle."
"Jasmine, ini privasi."
Jasmine menggeleng, "Aku enggak peduli, aku akan tetap di sini menemani Adelle."
Dahi Ainesh berkerut, ditatapnya sang putri sulung dengan mata menyipit tajam, "Ini seperti bukan kamu, Nak! Sejak kapan kamu menjadi keras kepala begini?"
"Sejak dahulu aku memang keras kepala, Dad aja yang enggak mengenalku dengan baik."
Ainesh kalah telak, pria paruh baya itu akhirnya menghela napas panjang. Sepertinya dia memang harus mulai terbiasa dengan prilaku anak-anaknya yang sudah mulai menampilkan taring masing-masing. Semenjak kasus yang menimpa putra kebanggaannya, tak ada lagi anak-anak lugu dalam keluarga Ainesh. Semua anak Ainesh seolah menudingnya sebagai orang yang paling bersalah atas segala yang terjadi terhadap satu-satunya putra di keluarga Ainesh Albara itu. Anak-anak Albara yang dulu lugu dan penurut, kian hari kian menunjukkan hasrat ingin menginjak kepala Ainesh. Semua anaknya begitu, kecuali Adelle. Hanya Adelle yang masih tetap menjadi gadis manis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Seandainya Perih
RomansaHanya karena kamu itu bintang paling terang di langit, bukan berarti kamu adalah pemilik alam semesta, Regulus. Adelle- ***** Sebelumnya aku adalah lelaki baik yang hanya mencintai Nicta, tapi Adelle datang dan membuatku berubah menjadi monster yang...