Dua puluh tujuh

398 70 10
                                    

"Sebaiknya kita bercerai."

"Aku salah dengar, 'kan?"

"Enggak," sahut Regulus, "telingamu berfungsi dengan baik."

"Tapi kenapa?" lirih Adelle dengan suara tercekat. Bagaimana tidak? Pria yang belakangan ini selalu menemaninya dan memperlakukan dia seperti istri paling bahagia sedunia itu mendadak mengajaknya bercerai.

"Kenapa? Bukannya udah jelas, ya? Sejak awal, gue enggak cinta sama lo. Gue menikah sama lo cuma karena disuruh sama mama dan mas Al. Sekarang mas Al udah merestui hubungan gue sama Nicta, jadi gue udah enggak butuh lo."

Adelle tahu semua yang dikatakan oleh Regulus mungkin adalah kenyataan. Namun entah mengapa hatinya masih saja merasakan perih ketika mendengar kalimat-kalimat itu meluncur dari bibir pria yang semalam masih memeluknya dalam tidur lelap.

"Besok gue bakal ajukan gugatan cerai. Lo enggak perlu datang di sidang kalau memang enggak punya waktu luang. Yang perlu lo lakuin cuma bilang bahwa hubungan kita udah enggak bisa diperbaiki seandainya nanti harus dilakukan mediasi. Gue bakalan tetap ngasih lo nafkah selama yang lo minta, bahkan sampai nanti setelah gue udah menikah sama Nicta. Dan rumah ini juga sepenuhnya akan jadi hak lo. Gue enggak akan minta apa-apa dari pernikahan kita yang cuma seumur jagung ini."

Tubuhnya terasa lemas, kakinya benar-benar seperti jelly, Adelle merasa butuh penopang untuk bisa berdiri tegak.
Sekuat tenaga gadis itu menahan air mata agar tidak lolos di hadapan Regulus. Adelle tidak ingin dikenang sebagai gadis yang lemah oleh Regulus.

"Oke kalau itu memang sudah jadi keputusanmu. Tapi boleh enggak aku meminta sesuatu darimu?"

"Apa?"

"Peluk aku malam ini. Hanya untuk malam ini, peluk aku seperti hari-hari yang lalu. Peluk aku seperti tidak pernah ada masalah di antara kita. Peluk aku seperti semua obrolan tentang perceraian ini tidak pernah terjadi. Tolong bersikaplah hangat untuk yang terakhir kali."

Jantung Regulus terasa melorot ketika mendengar permintaan sederhana namun sarat akan kesakitan mendalam yang dilontarkan oleh sang istri. Sungguh, pertahanan diri yang sejak tadi dia tunjukkan hampir saja melebur karena permintaan dari Adelle. Karena sebenarnya Regulus juga sangat terluka saat mengungkapkan semua kalimat-kalimat menyakitkan yang sejak tadi dia utarakan untuk Adelle. Regulus juga sangat tidak ingin menyakiti gadis itu lagi, Regulus tidak ingin menjadi monster mengerikan yang menghancurkan hati Adelle lagi. Regulus sangat ingin memeluk Adelle saat ini. Namun bagi Regulus, melepaskan Adelle dengan cara seperti ini adalah sesuatu yang paling tepat dan seharusnya dia lakukan. Biarkan Adelle menganggapnya sebagai pria paling brengsek di bumi, agar Adelle dapat segera melupakan pria jahat itu dan melanjutkan kehidupannya. Regulus sangat yakin bahwa ini semua adalah yang terbaik untuk mereka. Untuk Adelle, dirinya, Nicta dan juga anak dalam kandungan Nicta.

"Udah? Itu doang? Oke, gue kabulin."

"Terima kasih," bisik Adelle sebelum berbalik.

Sebelum melangkah, Adelle mengucapkan satu kalimat yang sangat membekas di batin Regulus. "Hanya karena kamu itu bintang paling terang di langit, bukan berarti kamu adalah pemilik alam semesta, Regulus."
Setelah mengucapkannya, gadis itu melangkah keluar dari kamar dengan langkah tegap. Gadis itu benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat menyedihkan.

Sepeninggalan Adelle, Regulus menundukkan kepalanya dalam-dalam. Berusaha mengusir rasa bersalah yang menghimpit dadanya hingga terasa sangat sesak.
"Adelle, maaf," bisiknya pada udara hampa.

Sementara Adelle sendiri menuruni tangga perlahan sembari berpegangan pada sisi tangga. Dengan langkah tertatih sarat akan kepiluan, bungsu Albara itu menuju meja makan dan duduk di kursi yang biasa dia duduki. Ditatapnya kue tart yang sudah dia buat sepenuh hati. Gadis malang itu benar-benar merasa terpuruk saat ini, lebih terpuruk dari saat terakhir kali dia ditinggalkan oleh mantan tunangan pertamanya, Ben Martin.

Seandainya PerihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang