Tujuh belas

311 39 8
                                    

Sepi, sunyi dan sendiri. Pada akhirnya hanya tiga kata itu yang berteman akrab dengan putri bungsu Albara.

Adelle masih bisa merasakan nyamannya tidur dalam dekapan Regulus, Adelle masih bisa mengingat hangatnya genggaman tangan pria itu, Adelle juga masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana senyum Regulus tergambar jelas di bibirnya ketika melihat Adelle tertawa.
Sekarang semua itu hanya ada dalam memorinya.

Hati Adelle terlalu lemah. Hanya karena Regulus sangat baik kepadanya selama dua hari terakhir, Adelle sudah salah sangka hingga jatuh cinta. Padahal sepenuhnya Adelle tahu bahwa pria itu mencintai gadis lain. Nicta Maharani masih tetap menjadi prioritas bagi Regulus. Adelle lupa bahwa dirinya tidak berarti apa pun bagi seorang Regulus Dirgantara. Adelle hanyalah gadis yang tidak sengaja dinikahi oleh Regulus.

Tersenyum hampa, gadis yang saat ini berstatus sebagai menantu bungsu Dirgantara itu pun berusaha menyadarkan angan-angannya. Dia tidak boleh terlarut dalam perandaian, dia harus  segera bangun dan sadar, bahwa pada akhirnya hanya dirinya sendiri yang tetap ada dan tidak pernah meninggalkannya.

Adelle menghela napas, kemudian melangkah ke nakas ketika mendengar dering ponsel miliknya. Nama Dean tertera sebagai pemanggil. Tanpa banyak berpikir, Adelle segera menerima panggilan dari Dean.

"Halo, Ardean," sapa Adelle.

"Halo, Adelle. Saya dengar dari Amasha kalau kamu baru dipulangkan dari rumah sakit setelah mengalami kritis. Saya benar-benar terkejut, Adelle."

Adelle tercekat, dia hampir lupa kalau dirinya punya seorang teman lain selain Amasha. "Aku udah sembuh, Dean."

"Saya enggak bisa percaya kalau belum melihat langsung."

"Kalau gitu mampir aja ke sini."

"Ke sini mana?"

"Ke rumahku, lah."

Dean terdiam beberapa saat, membuat Adelle mengerutkan dahi.
"Dean?" panggil Adelle.

"Iya, Adelle."

"Kenapa diam?"

"Apa saya... Apa saya beneran boleh berkunjung ke rumahmu?"

"Maksudmu?"

"Maksud saya, apa suamimu mengizinkan kamu membawa teman lelaki ke rumah?"

"Asal lo tau ya, gue juga pemilik rumah ini dan gue berhak menentukan siapa yang boleh tinggal di sini!"

Adelle terkekeh ketika ucapan Regulus beberapa waktu lalu kembali terngiang di kepalanya.

"Ini juga rumahku, aku berhak memutuskan siapa yang boleh datang ke sini," ujar Adelle, memodifikasi kalimat Regulus.

"Beneran?" tanya Dean ragu.

"Iya, Dean. Datang aja, nanti aku kirim alamatku lewat pesan teks."

"Oke, Adelle. Terima kasih."

Adelle menghela napas. "Aku yang seharusnya berterima kasih, Dean. Karena kamu sudah mau meluangkan waktu untuk mengunjungiku."

"Adelle maaf, ada telepon kantor yang masuk, harus saya angkat. Jadi saya matikan telepon kita, ya? Satu jam lagi saya berangkat ke rumahmu."

"Iya, Dean."

Dean mematikan sambungan telepon mereka, setelahnya Adelle segera mengirim alamat rumahnya kepada Dean.

Sembari menunggu Dean, Adelle mengganti dress rumahannya dengan dress yang lebih sopan, merapikan rambutnya dan memoles make up tipis di wajahnya agar dia terlihat lebih segar.

Seandainya PerihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang