Lio mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya yang entah sudah berapa lama terpejam itu untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamar rawatnya yang berwarna putih. Bola matanya lalu berputar ke kanan dan ke kiri, juga ke atas dan ke bawah untuk meneliti di mana ia berada sekarang.
"Rumah sakit?"
Ah ya, Lio ingat sekarang. Ia ingat bahwa ia tiba-tiba terjatuh dari motornya. Setelah itu, semuanya gelap dan ia tidak tahu lagi apa yang terjadi.
"Udah bangun?"
Lio terperanjat. Tunggu. Bagaimana bisa ia tidak sadar bahwa ada manusia yang sedari tadi duduk di samping hospital bednya? Matanya melirik ke arah kanan, untuk kemudian menemukan seseorang yang selalu mengganggu hidupnya tengah tersenyum ke arahnya dari sana.
"Pules tidurnya?"
"Berapa lama?"
"15 hours... approximately."
Lio terbelalak. Bola matanya refleks bergerak untuk menemukan jam dinding. Benar saja, jam dinding sudah menunjukkan jam 12 lewat 23 menit, dan ruangan ini terang benderang tanpa ada satu pun lampu yang menyala. Jadi tidak mungkin jika ini hampir jam setengah satu dini hari.
Lio kemudian membuang nafasnya kasar.
"Aku panggilin Dokter dulu ya?"
Virgo segera beranjak keluar dari kamar itu, dan tak lama kemudian kembali bersama seorang Dokter dan seorang Perawat. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, Dokter itu tersenyum puas dan menoleh ke arah Virgo.
"Nggak papa. Nggak ada tulang yang patah atau retak. Tapi, dia tetep harus dipantau untuk beberapa hari ke depan. Semisal ada keluhan seperti nyeri atau pendarahan langsung bilang ya, nanti kita periksa apakah ada masalah di organ dalamnya."
Virgo mengangguk.
"Makasih, Dok."
Dokter beserta Perawat itu kemudian pergi dari situ, meninggalkan mereka kembali berdua saja di kamar rawat Lio.
"Bawa sini hape gue." Lio menyodorkan tangan kanannya tanpa melihat ke arah Virgo sedikit pun.
"Sekalian, naikin back restnya."
Tanpa sahutan, Virgo mengambil ponsel Lio yang ia letakkan di atas nakas dan meletakkannya di atas telapak tangan Lio, kemudian menaikkan bagian back rest di bed Lio, enam puluh derajat dari posisi semula agar punggung anak itu bisa sedikit menegak.
"Udah sana lo pergi! Ngapain masih di sini?"
Virgo menghela nafas pelan. Bahkan dalam keadaan seperti ini pun, Lio masih tetap bisa menguji kesabarannya. Virgo hanya mengendikkan bahu, lalu pergi dari ruangan itu dan memilih untuk mengisi perutnya saja.
*****
Tak lama sesudah Virgo meninggalkan tempat itu, dua orang Perawat masuk ke kamar Lio. Satu dari mereka mengantarkan makanan, dan yang satu lagi mengganti infusnya yang hampir habis. Sesuatu kemudian terbersit di benak Lio.
"Sus, kemaren atau tadi ada yang jengukin saya nggak di sini?"
"Loh, orangnya bukannya barusan keluar dari sini?"
"Bukan, bukan. Selain dia ada nggak yang jengukin saya di sini?"
"Nggak ada Mas. Dari awal Mas di bawa kesini, cuma Mas yang tadi yang nemenin. Dia di sini dari kemaren malem, Mas. Dari Mas belom sadar sampai sekarang. Dia juga yang donorin darahnya buat Mas kemaren."
Lio terdiam. Sepertinya, sesuatu tengah mengganjal hati dan pikirannya saat ini. Sepeninggalnya kedua Perawat itu, Lio segera menggeser-geser daftar kontak di ponselnya untuk mencari satu nama.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] ESTRELLA
Teen FictionApa kalian pernah mendengar bahwa semakin gelap suatu ruang, maka cahaya sekecil apapun akan semakin terlihat? Virgo Celio Aquilary hanyalah sebuah bintang yang kecil nan redup. Di langit yang terdapat banyak bintang, cahayanya begitu tak berarti. N...