30th Star : Regor

2.7K 287 7
                                    

Rumah Sakit Andromeda masih tampak lengang pukul 6 lewat 30 menit pagi hari ini. Di tengah ketenangan itu, Libra Kevrilla terlihat duduk santai di ruangan khusus pemilik rumah sakit –ruangan suaminya yang hampir tak pernah berpenghuni karena pria yang resmi menyandang embel-embel 'dr.' di depannya sejak 14 tahun yang lalu itu justru lebih sibuk mengurus perusahaannya, Interstellar Group.

Terkadang Libra heran, kenapa suaminya dulu repot-repot kuliah di jurusan Kedokteran dan Business Management sekaligus, lalu setelah mendapatkan 2 titel di belakang namanya pria itu tetap melanjutkan Pendidikan Profesi Dokter dan berusaha mati-matian untuk lulus ujian sertifikasi, juga mengikuti internship demi benar-benar diakui sebagai Dokter.

Jika pada akhirnya hanya ilmu Business Management-nya yang terpakai hingga saat ini, pengejaran suaminya akan embel-embel 'dr.' itu adalah obsesi yang berlebihan menurut Libra.

Tapi, bukan itu yang menjadi fokus Libra saat ini. Amplop dengan logo Rumah Sakit Andromeda yang ia pegang di tangan kanannya-lah yang menjadi fokusnya sekarang.

Libra tersenyum sinis. Hari ini, tanggal 13 September 2019. Itu berarti, besok adalah hari yang wanita itu tunggu-tunggu.

Hari yang ia tunggu-tunggu bahkan sejak 15 tahun yang lalu.

Dan amplop yang berada di tangannya sedari tadi, adalah kunci dari segala yang ia rencanakan selama ini.

*****

Setelah apa yang terjadi kemarin malam, Virgo sepertinya masih betah menghindari Lio hingga saat ini.

Buktinya setibanya Lio di kelas, ia tak mendapati Virgo mendudukkan diri di bangku di sebelahnya, tapi di bangku yang terpisah 6 bangku dari yang ditempatinya saat ini, di sudut kelas paling belakang yang lain yang sejak hari pertama memang tak berpenghuni.

Lio cepat-cepat meletakkan tasnya di meja, lalu menghampiri Virgo yang tengah asyik membaca buku paket Biologinya di seberang sana.

"Tempat duduk lo tuh di sebelah gue, kalo lo lupa."

Mendengar suara yang amat dikenalnya, Virgo memilih untuk tetap tak melepaskan pandangan dari tulisan-tulisan yang tercetak di buku paketnya.

"Terserah aku lah, mau duduk di mana." sahutnya datar.

Lio menghela nafas pelan. Terkadang Lio lupa, bahwa manusia ini juga sama keras kepalanya dengan dirinya.

"Ayolah, Vir. Ntar gue nggak ada temennya. Masak yang lain ada temen sebangkunya kita nggak?"

"Ya biarin. Duduk sana. Kali aja nanti ada yang mau duduk di sebelah kamu." tolak Virgo mentah-mentah, tak mempan dengan bujuk rayu Lio.

Lio terdiam sejenak, memikirkan cara agar manusia ini kembali ke habitat asalnya.

Tak lama kemudian, Lio menjentikkan jarinya pelan –amat sangat pelan sampai-sampai gendang telinga Virgo tak mampu menangkap gelombang suaranya.

Lio kembali ke bangkunya, mengambil tasnya, kembali mendekati bangku yang ditempati Virgo, lalu mendudukkan diri di bangku di sebelah kiri Virgo.

Menyadari presensi manusia itu di sebelahnya, Virgo menutup buku paketnya, menoleh ke arah Lio, dan menatap anak itu malas. Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum tanpa dosa.

"Yang gue mau buat jadi temen sebangku gue tuh cuma lo. Gue nggak mau yang lain."

Kini, giliran Virgo yang menghela nafas pelan, memasukkan buku paket yang tadi ia baca ke dalam tas dan menutupnya rapat-rapat, lalu memundurkan bangku yang ia duduki. Lio yang menyadari pergerakan Virgo cepat-cepat mencekal tangan kirinya sebelum manusia itu sempat beranjak dari tempat duduknya.

[✓] ESTRELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang