"Ayo masuk."
Setelah acara makan di restoran tadi, dua manusia itu kini telah sampai di rumah kontrakan Virgo. Masih ada waktu kurang lebih 45 menit sebelum jam 3 sore, jadi mereka memutuskan untuk beristirahat sebentar barang setengah jam di rumah kontrakan ini sebelum nantinya Virgo akan berangkat ke tempat kerja.
Lio terdiam, mengamati rumah kontrakan sederhana –ralat, amat sangat sederhana itu. Hanya ada ruang tamu, satu kamar tidur, satu kamar mandi, dan dapur; cat dindingnya sudah banyak mengelupas dan ada beberapa lubang menganga di langit-langit, juga lantai yang beberapa keramiknya sudah pecah.
Dalam hati Lio bertanya, sebenarnya sebesar apa kemampuan Virgo untuk mensyukuri hidupnya? Bayangkan saja, dibuang oleh orang tuanya sendiri sejak lahir, menjalani hidup di panti asuhan dengan keadaan yang sudah pasti serba pas-pasan atau bahkan kekurangan, dan kini harus berjuang untuk hidupnya sendiri di Ibukota dengan bekerja paruh waktu sepulang sekolah demi tetap tinggal di rumah yang menurut Lio cukup memprihatinkan ini, juga demi sesuap nasi.
Bagaimana orang ini bisa tidak mengeluh?
"Kamu ngapain ngelamun di situ? Sini duduk."
Virgo yang sudah mengganti seragam sekolah dengan seragam kerjanya dan mendudukkan diri di salah satu kursi plastik bersandaran di ruang tamu itu mencoba menarik atensi Lio yang sedari tadi terpaku di depan pintu masuk yang terbuka.
Lio menggeleng cepat untuk mengembalikan kesadarannya, lalu ikut mendudukkan diri di kursi di samping Virgo yang terlihat akan mengganti perban di pergelangan tangan kirinya yang masih belum sembuh setelah sekitar seminggu yang lalu dipelintir tanpa perasaan oleh Oxi.
"Sini gue bantu." ujar Lio seraya menarik lembut tangan kiri Virgo dan melanjutkan acara melepas perban yang membebat pergelangannya. Sungguh, melihat pergelangan tangan yang sedikit membengkak itu membuat Lio menyesali ketidakpeduliannya saat itu yang membiarkan sepupunya menyakiti Virgo untuk yang kesekian kalinya.
Beberapa detik hanya diselimuti keheningan. Tak ada satu pun dari dua manusia itu yang bersuara karena memilih untuk larut dalam pikiran mereka masing-masing. Untuk itu, sebagai basa-basi agar suasana tak semakin sunyi, Virgo memutuskan untuk membicarakan apa yang Lio pikirkan saat terpaku di depan pintu masuk tadi.
"Kamu kaget ya, ngeliat rumah kontrakan aku?"
Dengan penuh kejujuran, Lio mengangguk pelan.
"Kalo dibandingin rumah kamu, mungkin rumah ini cuma... sepersepuluh? Seperduabelas? Seperenambelasnya kali, ya?" candanya sambil tertawa kecil. Lio yang mendengarnya pun ikut terkekeh.
"Gue salut sama lo. Lo masih bisa bersyukur sama keadaan lo yang kayak gini."
"Kalo aku nggak bersyukur, emang apa lagi yang bisa aku lakuin? Kalo mengeluh bisa bikin keadaan aku lebih baik sedikit aja, mungkin aku bakal mengeluh sampai mulut aku berbusa."
Virgo menghirup nafas panjang sembari mengamati bagian dalam rumah yang ia tinggali itu, membuangnya nafasnya pelan, dan tersenyum sebelum melanjutkan.
"Tapi nyatanya nggak gitu, Lio. Justru dengan merasa cukup dan menerima kenyataan sambil terus berusaha buat memperbaiki keadaan aku yang sekarang, itu yang bakal bikin semuanya lebih baik."
Lio terdiam mencerna kata-kata Virgo sambil membebatkan perban yang baru di pergelangan tangan Virgo.
Sejak Lio mengakui kebenaran dari kata-kata Virgo yang lalu-lalu, ia benar-benar menjadikan setiap kata yang keluar dari mulut Virgo sebagai penuntun hidupnya. Bukan, Lio bukannya menganggap Virgo Tuhan yang kata-katanya selalu benar. Tapi Lio tahu, bahwa orang ini lebih mengerti banyak hal soal kehidupan yang bahkan Lio sendiri tak paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] ESTRELLA
Novela JuvenilApa kalian pernah mendengar bahwa semakin gelap suatu ruang, maka cahaya sekecil apapun akan semakin terlihat? Virgo Celio Aquilary hanyalah sebuah bintang yang kecil nan redup. Di langit yang terdapat banyak bintang, cahayanya begitu tak berarti. N...