50. Flashback 1, The beginning of the storm

3.2K 300 6
                                    

Jakarta, 2007

 

Suasana ramai tengah membalut rumah berlantai dua yang terletak di tengah-tengah kompleks mewah. Sorot cahayanya menyala paling terang di antara jejeran rumah yang lainnya, menandakan sang pemilik sedang mengadakan pesta besar-besaran.

Situasi di ruang tamu lebih ramai mengingat kini satu keluarga besar berkumpul menjadi satu di sana. Mereka sibuk menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” sambil bertepuk tangan girang untuk seorang laki-laki berumur empat tahun yang kini berdiri di tengah kerumunan. Menatap kue tart blackforest favoritnya serta orang-orang bergantian. Senyumannya begitu lebar, bukti bahwa ia merasa bahagia dengan orang-orang yang merayakan bertambahnya umurnya.

“Happy birthday, Riki. Happy birthday, Riki.”

“Happy birthday... Happy birthday.. Happy birthday, Riki.”

“Yeayyyy....”

Tepuk tangan semakin keras saat lagu telah usai.

“Riki, anakku yang paling ganteng. Tiup dulu lilinnya.”, ucap Sinta sambil berjongkok. Menyejajarkan tingginya dengan si Bungsu.

Riki, dengan binar matanya yang berkilau langsung menuruti instruksi sang Mama. Ia meniup lilin berbentuk angka empat tersebut.

“Yeayyyy... Jagoan Papa udah gede. Udah empat tahun.”, Arkan langsung menggendong putra bungsunya. Menatap Riki kecil dengan penuh kebanggaan.

Setiap anggota keluarga mulai mendekati Arkan. Berbondong-bondong mengucapkan selamat, ada yang memberi hadiah, atau sekadar menggoda Riki kecil yang begitu lucu saat itu.

Di tengah keramaian itu, ada seorang gadis yang sedang memperhatikan dari jauh. Ia berdiri di balik tembok sambil menunjukkan ekspresi sedih. Hingga sebuah tepukan di pundaknya membuatnya terkejut.

“Ela, kamu ngapain sendirian di sini?”

Noelle mendongak, lalu menemukan sang Mama yang menatapnya bingung.

“Ayo gabung ke sana. Kamu gak mau ngucapin selamat ulang tahun ke adikmu?”

Noelle hanya diam. Sebenarnya ada alasan mengapa ia kini menyendiri, tidak bergabung dengan anggota keluarga yang lain.

“Ela, kamu kenapa, Nak? Mind to tell me?”

Dengan sedikit desakan Sinta, Noelle akhirnya mulai membuka suara.

“Aku malu, Ma. Aku belum beli kado buat Riki.”

Sinta tertawa. Ternyata itu alasan mengapa kini anak sulungnya menyendiri di balik tembok.

“Kenapa harus malu? Riki udah dapat banyak hadiah, tuh lihat aja.” Noelle melihat tumpukan hadiah mulai dari yang berukuran kecil sampai berukuran besar berada di meja. Hal itu malah semakin membuatnya sedih. Noelle menjadi satu-satunya yang tidak berpartisipasi menyusun tumpukan kado itu.

Ini murni kesalahannya. Ia terlalu sibuk mempersiapkan pentas drum band di sekolahnya sampai melupakan hari kelahiran adiknya sendiri.

“Loh kok malah makin nangis.” Sinta berlutut. Kedua tangannya ia ulurkan untuk menghapus air mata yang menyusuri pipi anak sulungnya.

“Aku sedih. Dari sekian banyaknya hadiah buat Riki, aku malah gak ngasih apa-apa. Padahal aku kakak kandungnya sendiri.”

“Hei, listen to me. Kak, having you as his sister is already a gift for him. Bukan barangnya, tapi your presence.”

Oh My Jay (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang