Minggu, 5.30 p.m at Ballroom Rosez Hotel
Diana melangkah dengan anggun. Gaun berwarna hitam dengan model sheer cloak neckline memberikan kesan klasik bagi siapa pun yang melihat. Ditambah lagi dengan sepasang stiletto dan tas yang berwarna abu semakin menambah kesan anggun dan juga misterius padanya.
Mata Diana menatap ke sekeliling, mencari teman-temannya yang sudah sampai lebih dulu sebelum dia. Seperti anak itik yang kehilangan induknya, Diana tengah merasakan itu saat ini. Acara seramai ini, namun Diana merasakan suasana yang asing. Tidak ada yang dia kenal, selain teman-temannya disini.
Fakta jika waktu dapat mengubah seseorang tampaknya bukan hanya sekedar omong kosong belaka. Hampir 7 tahun yang lalu mereka berpisah dalam acara perpisahan siswa/i angkatan 20xx, kini mereka semua berubah. Perubahan yang paling mencolok dan dapat di tangkap oleh mata adalah penampilan seseorang.
Bruk.
Diana meringis pelan ketika kakinya terkilir saat berusaha menahan keseimbangan tubuhnya. Dalam hati, ingin rasanya Diana memberikan semburan amarahnya pada seseorang yang menabraknya itu.
Seingat Diana, biasanya dalam adegan film, jika seorang pria menabrak wanita maka si pria akan menahan tubuh si wanita dan mereka akan saling berpandangan. Meski terdengar cheesy, namun dalam hati terdalamnya Diana tentu ingin merasakan hal tersebut. Terlalu banyak keinginan tanpa sadar akan dirinya sendiri.
"Aduh, mas. Kalo jalan pelan-pelan dong, sakit nih kaki saya keseleo." Ujar Diana sembari berjongkok dan mengusap mata kakinya.
"Maaf, mba. Saya nggak liat. Sini saya tolongin."
Diana menatap kagum tangan pria itu yang terulur padanya. Bukan apa, tangan pria itu bahkan lebih putih dari tangannya sendiri. Sekilas rasa minder menyapa hatinya. Dia.. seorang wanita kalah dengan pria?
"Mba." Panggil pria itu.
"Oh iya." Dengan segera Diana menerima uluran tangan pria itu dan bangkit berdiri. "Haah.. ngilu lagi." Gumam Diana.
"Mau saya bawa ke dokter aja, mba? Kebetulan klinik saya deket dari sini."
Diana mengerutkan keningnya. Pria itu bilang apa tadi? Klinik saya?
Mata Diana membulat sejenak sebelum akhirnya menggeleng. "Nggak usah, mas. Keseleo dikit doang ini, sebentar lagi juga sembuh."
"Yaudah, kalo gitu. Tapi kalo misalkan ada pembengkakan di pergelangan kakinya, dateng aja ke klinik xx, bilang aja sama susternya mba yang nggak sengaja saya tabrak gitu. Nanti biayanya biar saya yang tanggung."
Diana mengangguk kemudian berpamitan dengan cepat pada pria itu. Dia sudah telat datang selama 30 menit lalu ditambah lagi dengan adanya insiden ini. Bayangan kedua temannya yang menyemburkan omelan, menari-nari di benak Diana.
"Iya, kalo ada apa-apa nanti saya dateng kesana. Saya pamit dulu ya, mas." Dengan kaki kanan yang sedikit pincang, Diana berusaha berjalan cepat pergi dari sana.
"Mba.. tunggu."
Menarik napas panjang, Diana berusaha menahan kesabarannya. Ia menoleh ke belakang ke arah pria tersebut. Tanpa perlu menyembunyikan ekspresinya, Diana menatap jengkel pria itu.
"Kalo saya boleh tau, nama mba ini siapa ya?"
Mengerutkan keningnya sejenak, sebelum akhirnya menjawab. "Diana. Saya permisi ya, mas."
Ada banyak nama 'Diana' di Indonesia. Diana tidak merasa khawatir sedikit pun memberi tahu namanya pada orang lain. Toh itu hanya nama depannya saja, lagipula Diana yakin mereka tidak akan bertemu lagi. Kalo pun ada kemungkinan, paling hanya sekian persen saja. Hidupnya terlalu menoton untuk dapat bertemu dengan orang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Chaos
RomanceBagi Diana kemunculan kembali Keano adalah bentuk kesialan sekaligus keberuntungan dalam hidupnya. Rasa bersalah karena sudah menorehkan luka dan membuat malu pria itu, membuat Diana kini secara tidak sadar selalu memperhatikan Keano. Ia bukanlah pe...