Dua Tujuh

254 25 1
                                    

“Ini ada hubungannya sama mereka ya.” Ujar Keano.

Tubuh Diana menengang mendengar nada rendah atasannya itu. Membalikkan badan, matanya mengarah pada dua rekan kerjanya yang terlihat bingung melihat kemarahan Keano.

Raut wajah mereka berdua berubah menjadi keruh dan marah melihat Diana yang berdiri tak jauh. Mereka pasti berpikir jika dirinya telah mengadukan kejadian tadi pada atasannya itu.

“Diana bisa kamu kesini sebentar.” Panggil Keano.

Tanpa ada yang melihat, Diana tersenyum kecil. Jika mereka menuduhnya mengadu pada Keano, bagaimana jika ia memanfaatkan situasi ini saja?

Toh, mereka sudah berpikir buruk tentangnya, mengapa dia harus menahan diri dan hanya diam tak melawan. Dengan raut wajah datar Diana berjalan menghampiri dan berdiri tepat di samping atasannya itu.

“Noda di baju kamu itu kesengajaan atau ketidaksengajaan?” Tanya Keano pada Diana.

Segaris senyum tertarik di bibirnya Diana, dengan tatapan yang terus terarah pada dua rekan kerjanya, ia berkata. “Kalo saya buka mulut pasti nanti muncul rumor kalo saya seorang pengadu, jadi saya minta Bu Hani sebagai saksi yang ngejelasin situasi tadi, Pak.”

Kini tatapan Keano terarah pada Hani yang terlihat terkejut. “Jadi Hani, siraman kopi di baju Diana ini kesengajaan atau bukan? Saya minta kejujuran kamu kalo gak kalian bertiga kena sanksi.”

Meski terkejut dengan perkataan Keano, namun Diana menjaga raut wajahnya untuk tetap terlihat datar. Ia ingin melihat dua orang di depannya ini saling melindungi atau justru saling mengkhianati. Jika pun mereka bertiga kena sanksi, Diana tidak akan berharap apapun karena itu yang ketiga kalinya dia terlibat.

Meski surat pemecatan terbayang jelas di wajahnya, namun dalam situasi ini pembelaannya hanya akan didengar sebagai omong kosong saja. Maka dari itu pilihan terbaiknya adalah mereka yang saling menusuk satu sama lain.

“Saya.. saya ngeliat Rita yang nyiram kopi ke bajunya Bu Diana, Pak.”

Diana sudah menduga jika Hani akan memilih mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Jika ia berhenti atau dikeluarkan dari perusahaan, tentu posisi sebagai ketua tim kemungkinan besar akan jatuh padanya.

Namun karena Keano mengancam akan memberikan sanksi pada mereka bertiga jika tidak jujur, tanpa pikir panjang Hani pasti akan memilih jalan ini.

“Apa?! Bukan cuma saya yang nyiram Mbak Diana, Pak. Bu Hani juga tadi nyiram dia pake segelas air.” Ujar Rita yang tidak terima di kambing hitamkan oleh Hani.

Keano menoleh ke arah Diana. Tatapan matanya terlihat marah sekaligus khawatir. “Kamu disiram air juga sama Hani?”

Menyingkirkan poninya yang basah dari wajah, Diana sengaja mengarahkan tangannya pada pipinya yang memerah bekas tamparan Hani tadi.

“Iya, Pak. Aww.” Ujarnya sembari meringis pelan di akhir.

“Pipi kamu.. kamu ditampar sama siapa, Diana?”

“Bu Hani, Pak! Bu Hani yang nampar mbak Diana dua kali tadi, bukan saya!” Ujar Rita dengan keras seolah ingin membalas perbuatan Hani tadi padanya.

Dengan ekspresi marah, Keano berjalan mendekat ke arah mereka berdua. “Kalian berdua ikut saya ke ruang HRD. Saya gak suka di kantor ini ada tindak perundungan.” Ujarnya pada dua anak buahnya itu.

“Sementara kamu Diana, tunggu di ruangan saya.”

“Saya gak dibutuhin sebagai korban sekaligus saksi, Pak?”

Keano menggeleng. “Saya bisa selesain masalah ini. Lagian juga saya punya urusan sama HRD perusahaan ini.”

Diana menganggukan kepala kemudian tersenyum kecil setelah Keano dan dua rekannya menghilang dari depan ruang pantry. Memang benar kata orang, berpikir itu menggunakan otak bukan otot.

Sweet ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang