Sebelas

332 31 1
                                    

“Pagiku suramku, diawali omelan. Kugendong beban hidup, di pundak. Selamat pagi semua, cicilan menantiku. Gajian masih besok, kantongku meringis. Gajiku tersayang, cepatlah kau turun. Tanpamu apa jadinya aku..” Diana bernyanyi, mengawali harinya.

“Lo nyanyi apaan sih, Na?” Tanya Dika. Pria itu tengah meniup segelas kopi panas miliknya.

“Lagu kebangsaan gue di tanggal tua, Mas.” Jawab Diana sekenanya.

Dika mendelik mendengarnya. Ternyata temannya ini memang orang yang aneh. “Eh iya, kemaren lo jadi pulang sama Pak—”

Dengan cepat Diana menutup mulut Dika. “Sttt.. jangan sebut namanya nanti dia muncul, Mas.” Bisiknya kemudian melepaskan bekapannya setelah Dika mengangguk.

Tertawa kecil, Dika menertawakan Diana yang wajahnya terlihat kesal. Ia dapat menebak jika kemarin malam temannya itu tidak mendapat tumpangan gratis. Mood wanita itu mudah sekali terbaca lewat ekspresi wajahnya.

“Udah sana balik ke meja lo. Gue udah tau jawabannya.” Ujar Dika.

Diana mencebik. “Seneng banget lo liat gue kesel. Lo sih pelit, gak mau anterin gue pulang.” Ujarnya kemudian melangkah pergi menuju meja kerjanya.

Menyalakan komputer, Diana mengeluarkan ponselnya dari dalam tas sembari menunggu. Jemarinya terarah pada aplikasi chatting yang dia download sejak hampir dua minggu yang lalu. Tersenyum kecil, dengan cepat Diana mengetikan balasan pada lawan chatnya yang masih sama itu.

Ia sudah mulai terbiasa dengan teman chatnya. Tidak ada lagi kecanggungan seperti di awal, begitu juga dengan pria itu. Mereka lebih sering membahas keseharian mereka dibanding dengan membahas hal yang berbau pribadi. Dan karena alasan itu pula hingga saat ini Diana tidak mengetahui siapa nama asli dari wolf ini. Begitu juga sebaliknya, ia tidak pernah membahas perihal nama pada pria itu.

Satu pesan masuk dari aplikasi yang berbeda. Diana membukanya dan nama David berada di paling atas daftar pesan. Diana mendengus pelan, nyatanya pria itu jarang menghubunginya bahkan sekedar mengirim pesan pun jarang. Tapi tentu Diana tidak bisa melepaskan pria itu begitu saja. David adalah pria yang sesuai dengan tipe idamannya, terlalu sayang untuk dilepaskan, Diana memilih untuk memaklumi pria itu. Lagi pula pekerjaannya sebagai dokter pasti menyita banyak waktu pria itu.

Diana bersiul pelan ketika membaca pesan dari David yang berisi ajakan untuk makan malam bersama malam ini. Dengan lincah jemarinya mengetikan balasan yang tentu saja menyetujui ajakan tersebut. Namun sayang belum sempat pesan tersebut terkirim, panggilan masuk muncul pada layar.

“Oy, kenapa nelepon, Ri?” Ujar Diana membuka percakapan.

“Entar malem jadi kan nganterin gue survei tempat buat wedding?”

“Kapan gue bilang kayak gitu?!” Tanya Diana dengan nada tinggi. Oh tidak, dinner-nya dengan mas crush terancam dibatalkan.

“Dih.. lupa deh pasti. Dua hari yang lalu kan lo yang bilang mau nganterin sekalian nyari jodoh disana.”

“Aish.. gue asal ngomong doang, Ri. Nyari jodoh masa di hotel, no no no.. gue batalin bisa kan ya?”

“Heh.. kalo lo lupa, lo kan udah nerima sogokan yang gue kasih. Enak aja dibatalin, sementara traktirannya udah lo makan sampe puas.”

“Yah.. Ri gue ganti deh nanti uang makan kemarin, tapi awal bulan ya gue bayarnya.” Ujar Diana sembari tertawa.

“Gue gak masalahin uangnya, janjinya gak bisa seenaknya lo batalin dong.”

“Tapi malam ini gue punya janji buat masa depan. Hiks.. masa lo gak ngertiin banget sih.” Ujar Diana berpura-pura sedih.

“Heh.. Na janji yang mau lo batalin sekarang juga buat masa depan gue. Kalo mas gue gak tugas juga gue gak bakal minta anterin ke lo.” Omel Riri.

Sweet ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang