Empat empat

235 14 0
                                    

Nanti saya jemput jam empat ya



Yee. Semangat kerjanya, Pak Keano!

“Jadi gimana hubungan lo sama Keano? Ada kemajuan gak, Na?”

Diana menoleh sejenak kemudian menekan tombol kunci kemudian menaruh ponselnya di atas sofa. Ia tersenyum lebar pada Dewi dan berujar dengan nada penuh semangat. “Ada dong! Gue sama dia jadi makin bucin.”

Dewi tersenyum sembari bertepuk tangan pelan. “Wah, masa pacaran mah beda ya! Manis banget, Na.”

Tertawa kecil, Diana merasa Dewi benar-benar mendukung hubungannya dengan Keano. Bukan maksudnya Riri dan Sasa—temannya yang lain tidak mendukung, namun yang dia maksud adalah sikap mereka yang pasti akan memberikan tanggapan berbeda pada kalimat alaynya tadi.

Dewi adalah orang yang melihat segala sesuatu dari sisi positif dan tentu selalu memberikan jawaban yang sesuai dengan keinginan si pencerita.

Lain halnya dengan Riri dan Sasa yang cenderung melihat dari sudut lain dan memberikan arguman yang cenderung logis melalui kalimat tajamnya. Namun tentu mereka semua adalah sahabat baiknya.

“Udah nikah juga masih tetep manis, Wi.” Ujar Diana.

Menggeleng pelan, Dewi mengangkat Azka yang menangis. “Biasanya kalo udah nikah mah beda lagi, Na. Suka ada aja hal yang diributin karna kan dua kepala dijadiin satu. Beda pemikiran lah, beda cara nyelesaiin masalah, beda pendapat.”

“Sini, Azkanya gue aja yang gendong.” Pinta Diana sembari mengulurkan tangannya.

Dewi membiarkan Diana menggendong anaknya. “Lo udah cocok jadi ibu ya, keliatan luwes banget gendong bocahnya.” Pujinya sembari tersenyum.

“Intinya Na, yang dibutuhin pasangan suami istri itu komunikasi, kepercayaan, tanggung jawab sama kerjasama.”

“Uuu, pipinya gembul banget sih.” Ujar Diana dengan gemas sembari menoel-noel pelan pipi anak laki-laki usia 10 bulan itu. “Iya, gue tahu. Makasih nasihatnya, Wi.”

“Gue lupa lo belum gue buatin minum. Gue buatin teh ya.” Tanya Dewi sembari bangun dari duduknya.

Tertawa kecil, untung saja Diana sudah terbiasa berkunjung ke rumah Dewi bersama kedua temannya dulu. Jadi terlambat dibuatkan minum pun, ia tidak akan melayangkan protes atau merasa tidak disambut. Memang sedekat itu persahabatan mereka berempat.

Memandang langit-langit ruangan, Diana mengernyitkan kening. “Gue baru tau kalo plafon rumah lo dibuat lebih tinggi, Wi. Kayaknya dulu enggak deh?”

Dewi menganggukkan kepala. “Iya, waktu itu rembes soalnya. Kenapa lo tiba-tiba bahas atap rumah gue, Na?” Tanyanya dari dapur.

“Gue diajak ke rumah ibunya Keano semalem, Wi.” Ujar Diana dengan nada ragu.

Berhenti mengaduk teh manis yang sedang dibuatnya, Dewi tersenyum senang sebelum melemparkan tatapan bingung. “Kenapa lo keliatan gak semangat gitu, Na?”

Sebenarnya semalam Keano mengajaknya untuk pergi menemui ibunya, namun karena terlalu terkejut Diana tidak menjawab ajakan itu dan terdiam. Yang membuatnya kembali merasa bersalah adalah reaksi Keano setelahnya. Pria itu hanya tersenyum kemudian mengusap pelan rambutnya dan tidak menuntut jawaban atas ajakannya itu.

Suasana diantara mereka berdua memang tidak mendingin. Keano masih sama seperti biasanya, menjaganya dengan cara yang berbeda. Namun justru sikap dirinya yang menjadi lebih pendiam dan tidak banyak berbicara. Dan sekarang Diana merasa bersalah karena sudah mengabaikan pria itu.

Sejujurnya yang membuat Diana cemas adalah mengenai banyaknya kekurangan dia untuk menyandang status sebagai calon istri Keano.

Ia tidak bisa memasak, mengelola keuangannya sendiri selama satu bulan pun terkadang berantakan, pekerjaan rumah yang bisa dilakukannya hanyalah menyapu dan mengepel lantai. Dia memang menyukai anak-anak, namun ia belum pernah 24 jam bersama anak kecil.

Sweet ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang