Tiga Sembilan

284 20 0
                                    

Diana berlari cepat menuju kamar mandi sembari menenteng handuknya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi ketika ia membuka mata tadi.

Semalam dia tidak bisa memejamkan mata karena jantungnya berdebar dengan kencang. Efek jatuh cinta memang seluar biasa ini, ia yang dulu pernah menolak pria itu namun kini justru semakin jatuh cinta lebih dalam setiap harinya.

“Mama! Mama, mau ngapain masuk kamar mandi?” Tanya Diana dengan panik.

Ayolah, ia menghindari situasi dimana Keano datang ke rumahnya dengan penampilan rapih dan tampan sementara dirinya masih terbalut selimut seperti kemarin. Kejadian yang memalukan.

Ibunya mengernyitkan kening. “Ya orang ke kamar mandi mau ngapain lagi emangnya.” Sarkasnya.

Aduh, bagaimana cara agar ia bisa menyelak ibunya. Sikap yang tidak patut ditiru namun dirinya sudah kepalang dikejar waktu.

“Ana mules jadi duluan yaa. Mama mandinya nanti abis Ana.”

“Gak, mama duluan. Salah sendiri bangun siang. Minggir.”

“Aduh, Mama. Mules banget ini.” Rintih Diana berpura-pura sakit. “Mama please baget ini mah, Ana duluan ya. Janji dua puluh menit selesai.”

Dengan mata yang menyipit tajam, ibunya menyingkir dari pintu kamar mandi. “Lima belas menit, gak lebih. Lebih, mama matiin lampunya.”

“Jahat banget.” Ujar Diana kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan menutup serta mengunci pintunya.

Empat puluh lima menit kemudian, Diana keluar dengan handuk tergulung di atas kepala. Kepalanya menoleh ke arah dapur, mencari keberadaan ibunya. Ini aneh, sebab ancaman ibunya tadi bukanlah bualan belaka.

Ibunya itu pernah benar-benar mematikan lampu kamar mandi karena ia terlalu lama di dalamnya. Oh tidak, ibunya tidak sejahat itu hanya saja sedikit.. kejam.

“Mama, kamar mandinya udah tuh.” Teriak Diana sembari melangkah mencari keberadaan ibunya.

“Mama dimana sih? Ana udah selesai man—akh.. ngapain Pak Keano ada di ruang tengah?!” Pekiknya terkejut.

Sadar akan sesuatu, dengan cepat Diana menyilangkan tangan di depan tubuhnya. Ia masih memakai baju yang belel dan juga robek di bagian leher dan lengan serta celana olahraga sma-nya yang sudah memendek hingga sebetis. Ingin rasanya dia menangis, ini lebih buruk dari kemarin.

“Jangan liat kesini!” Teriak Diana.

Keano terbatuk dengan keras kemudian menoleh ke arah lain dan menaruh toples biskut kacang yang sedang dimakannya ke atas meja. Menepuk-nepuk pelan dadanya, ia berujar dengan sulit. “Serius, saya gak liat apa-apa. Saya gak liat baju kamu juga, Diana.”

“Bukannya itu arti Pak Keano udah liat ya?!” Ujar Diana dengan kesal. Kepalanya menoleh ke arah ruang tamu, mencari keberadaan ibunya yang entah kemana.

“Saya gak liat apa-apa, Diana.” Ujar Keano dengan tegas setelah menyelesaikan batuknya.

Menyipitkan matanya, sebenarnya Diana tidak yakin akan kebenaran perkataan Keano, namun ia harus segera melarikan diri dari situasi memalukan ini. “Pak Keano tutup mata dulu, saya mau lari ke tangga.”

“Jangan lari di tangga, jalan aja pelan-pelan. Saya tutup mata sampai kamu di lantai atas.” Ujar Keano dengan nada lembut.

Setelah memastikan pria itu benar-benar menutup matanya, Diana berjalan cepat  menaiki anak tangga dan menuju kamarnya. Meringis pelan, seharusnya ia buang saja celana olahraga dan baju belelnya sejak dulu hingga tidak akan menyebabkan aib seperti ini.

Sweet ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang