Dua Enam

245 24 0
                                    

Dengan mata setengah mengantuk, Diana turun dari lantai dua rumahnya. Di tangannya terdapat setumpuk dokumen yang sudah ia selesaikan semalaman di kantor kemudian dilanjut dikerjakan di rumah.

Seperti tebakannya kemarin siang, ia kembali mendapatkan bulian dari para rekan seniornya. Seolah jabatan Diana yang lebih tinggi tak membuat mereka takut,  mereka tetap menyuruhnya untuk mengerjakan semua perkerjaan yang bersifat penting padanya.

Untuk saat ini posisi Diana sama sekali tidak menguntungkan. Jika ia menolak pekerjaan itu dengan tegas, mereka akan menyebarkan desas-desus yang lebih buruk tentangnya.

Dan jika Diana menerima begitu saja, mereka juga akan berada di atas awan dan terus-menerus menyuruhnya. Sulit sekali menjadi orang yang selalu mendengarkan perkataan buruk dari orang lain sepertinya.

“Akhir-akhir ini Mama perhatiin kamu pulang malem terus, Ana.”

Tersenyum kecil, Diana tidak ingin ibunya tahu soal pekerjaannya. “Ada banyak banget kerjaan di bulan ini, Ma.”

Ibunya menyepitkan mata, melemparkan tatapan curiga. “Kamu bohong ya sama mama? Dika pulang tepat jam pulang kantor tuh.”

Diana menggigit bibir dalamnya, ibunya tengah di mode curiga. Biasanya jika ini terjadi, ibunya tak segan-segan bertanya pada teman-temannya termasuk pada Dika yang satu kantor dengannya. Sampai beliau mendapatkan jawaban yang membuatnya yakin, beliau tidak akan berhenti bertanya.

“Mas Dika sama Ana walaupun di divisi yang sama tapi tugasnya beda, Ma. Bulan ini tim Ana harus ikut ngasih ide buat promosiin produk baru, jadi lagi banyak banget kerjaan.” Jelas Diana yang secara garis besar memang seperti itu.

“Jadi secara garis besar, kamu lebih hebat dari Dika gitu?”

“Eh, kok jadi lebih hebat sih? Justru Mas Dika yang biasanya buat promosi bukan Ana, jadi ya secara gak langsung Mas Dika lebih hebat dari Ana.”

Ibunya menghela napas kemudian menepuk pelan bahu Diana. “Kalo mau cerita, cerita aja sama mama. Jangan kamu pendem sendiri Ana.”

Diana tertegun sejenak kemudian tersenyum kecil. “Eh, mama tahu ya?”

“Seorang ibu gak mungkin gak tahu soal anaknya, Ana. Mama emang gak tahu masalah apa yang lagi kamu hadapin, tapi mama tahu kalo kamu lagi gak baik-baik aja.”

Sekali lagi Diana tertegun. Usapan pada rambutnya membuat Diana menoleh dan menatap ibunya. “Kamu gak sendirian, Ana.”

-------

Lain kemarin lain pula hari ini, semua orang tampak menghindari Diana. Tak mau ambil pusing, situasi ini justru jauh lebih baik dari kemarin bukan? Ya, setidaknya bisikan mereka tidak terdengar di telinganya.

Bersiul pelan, kepala Diana mendongak melihat nomor lantai lift yang masih berada di atas. Menunggu seorang diri tidak seburuk yang ia kira, malah ini lebih baik karena artinya kemungkinan kecil kejadian kemarin akan terulang. Pintu lift terbuka, Diana melangkah masuk ke dalamnya.

Matanya melihat beberapa orang yang juga ikut mengantri namun dengan jarak yang cukup jauh darinya. Menekan tombol lift agar pintu tidak tertutup, Diana menunggu mereka ikut bergabung bersamanya.

Tersenyum canggung, ia melepaskan tombol lift dan seketika pintunya pun tertutup. Untuk apa ia terus menunggu jika tidak ada satu orang pun yang ikut dengannya. Mereka semua hanya diam layaknya orang yang bodoh, padahal ia sudah berbaik hati menahan pintunya.

Diana heran mengapa semua orang bertindak kekanakkan hanya karena masalah orang lain. Ternyata usia tidak menjamin kedewasaan seseorang.

Ya, seharusnya mereka bersikap acuh pada masalah orang lain selama itu tidak merugikan diri mereka sendiri. Tapi kenyataan yang selalu muncul di dunia ini adalah setiap orang berlomba-lomba untuk ikut campur seolah mereka memiliki solusi terbaik, padahal tidak.

Sweet ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang